𝗠𝗲𝗻𝗷𝗮𝗱𝗶 𝗨𝗹𝗮𝗺𝗮 𝗕𝗲𝘀𝗮𝗿 𝗱𝗲𝗻𝗴𝗮𝗻 𝗕𝗶𝗮𝘆𝗮 𝟭𝟮𝟬 𝗠




Ada orang tua yang menghabiskan sebanyak 30.000 dinar hanya untuk biaya menuntut ilmu anaknya. Jika 1 dinar setara 4 juta rupiah saja maka 30.000 dinar sama dengan 120 miliyar. Wow… sebesar 120 miliyar dialokasikan hanya untuk biaya pendidikan 1 anak! Bagaimana mungkin terjadi? Begini ceritanya…

******

Kisah ini disarikan dari berbagai sumber kitab tarikh (sperti kitab Tarikh Dimasq nya Ibnu Asakir, Tarikh Baghdad nya Khatib Albaghdadi, dan yang lain) dengan sedikit tambahan tanpa merubah substansi.

******

“𝘞𝘢𝘩𝘢𝘪 𝘮𝘶𝘴𝘶𝘩 𝘈𝘭𝘭𝘢𝘩, 𝘴𝘪𝘢𝘱𝘢 𝘦𝘯𝘨𝘬𝘢𝘶 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘵𝘦𝘭𝘢𝘩 𝘣𝘦𝘳𝘢𝘯𝘪 𝘮𝘦𝘮𝘢𝘴𝘶𝘬𝘪 𝘳𝘶𝘮𝘢𝘩𝘬𝘶 𝘪𝘯𝘪?!” Tiba-tiba seorang pemuda telah berdiri gagah menghadang laki-laki tua asing yang lancang memasuki rumahnya. Pemuda tersebut menatap tajam setelah membentaknya.

“𝘛𝘪𝘥𝘢𝘬, 𝘢𝘬𝘶 𝘣𝘶𝘬𝘢𝘯 𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘫𝘢𝘩𝘢𝘵, 𝘫𝘶𝘴𝘵𝘳𝘶 𝘦𝘯𝘨𝘬𝘢𝘶 𝘢𝘥𝘢𝘭𝘢𝘩 𝘮𝘶𝘴𝘶𝘩 𝘈𝘭𝘭𝘢𝘩 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘵𝘦𝘭𝘢𝘩 𝘣𝘦𝘳𝘢𝘯𝘪 𝘮𝘦𝘮𝘢𝘴𝘶𝘬𝘪 𝘳𝘶𝘮𝘢𝘩𝘬𝘶 𝘪𝘯𝘪!” jawab orang tua tersebut tidak kalah sengit.

Terjadilah perselisihan yang cukup serius antara orang tua asing dan pemuda penghuni rumah tersebut. Keduanya mengaku pemilik rumah yang sah dan menuduh yang lain sebagai penjahat yang lancang memasuki rumah orang lain. 

Masyarakat mulai berkerumun mendengar keributan tersebut. Akhirnya ibu dari pemuda tersebut juga keluar dan berteriak setelah melihat wajah orang tua asing itu. “𝘏𝘦𝘯𝘵𝘪𝘬𝘢𝘯 𝘢𝘯𝘢𝘬𝘬𝘶... 𝘥𝘪𝘢 𝘢𝘥𝘢𝘭𝘢𝘩 𝘣𝘢𝘱𝘢𝘬𝘮𝘶, 𝘍𝘢𝘳𝘳𝘶𝘬𝘩. 𝘏𝘦𝘯𝘵𝘪𝘬𝘢𝘯 𝘴𝘶𝘢𝘮𝘪𝘬𝘶... 𝘥𝘪𝘢 𝘢𝘥𝘢𝘭𝘢𝘩 𝘢𝘯𝘢𝘬𝘮𝘶 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘥𝘶𝘭𝘶 𝘦𝘯𝘨𝘬𝘢𝘶 𝘵𝘪𝘯𝘨𝘨𝘢𝘭 𝘬𝘦𝘵𝘪𝘬𝘢 𝘮𝘢𝘴𝘪𝘩 𝘥𝘪 𝘬𝘢𝘯𝘥𝘶𝘯𝘨𝘢𝘯”. 

Mendengar itu, orang tua tersebut tanpak terkejut kemudian menatap Lembut wajah anak muda di hadapannya. Tidak disangka janin yang ditinggal dalam kandungan istrinya dua puluh tujuh tahun yang silam telah menjadi  pemuda yang besar dan gagah. Ada rasa haru dan bahagia bercampur aduk jadi satu.

Farrukh adalah suami dari perempuan penghuni rumah ini. Dua puluh tujuh tahun yang lalu dia meninggalkan istrinya yang sedang mengandung anaknya. Farrukh pergi ke Khurasan demi memenuhi panggilan perang untuk membela agama Islam. Bertahun-tahun dia tidak pulang dan tidak ada kabar. Hingga di saat semua orang melupakannya, dia datang kembali layaknya orang asing yang tidak dikenal. Meski sempat membuat ribut dan menimbulkan salah paham, namun akhirnya mengharukan dan membahagiakan.

Demi melihat kebahagiaan keluarganya yang kembali utuh, istri Farrukh mengajak suami dan anaknya masuk kembali ke dalam rumah dengan diliputi kebahagiaan baru. Kerumunan warga juga telah selesai dan mereka kembali ke rumah masing-masing.

Dalam sebuah kesempatan, Farrukh menanyakan uang 30.000 dinar yang dulu ia berikan kepada istrinya sebelum berangkat perang untuk dipakai seperlunya. Farrukh meminta istrinya agar mengeluarkan uang tersebut dan menggabungkan dengan uang yang baru ia bawa. 

Mendengar hal tersebut, istrinya kaget dan gelisah. Bagaimana tidak, semua uang tersebut sudah ludes dipakai untuk biaya pendidikan anaknya. Tidak tersisa sedikitpun. “𝘈𝘱𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘬𝘶𝘴𝘢𝘮𝘱𝘢𝘪𝘬𝘢𝘯 𝘱𝘢𝘥𝘢 𝘴𝘶𝘢𝘮𝘪𝘬𝘶 𝘵𝘦𝘯𝘵𝘢𝘯𝘨 𝘶𝘢𝘯𝘨 𝘪𝘵𝘶? 𝘉𝘢𝘨𝘢𝘪𝘮𝘢𝘯𝘢 𝘯𝘢𝘯𝘵𝘪 𝘴𝘪𝘬𝘢𝘱𝘯𝘺𝘢 𝘫𝘪𝘬𝘢 𝘪𝘢 𝘵𝘢𝘩𝘶 𝘶𝘢𝘯𝘨𝘯𝘺𝘢 𝘩𝘢𝘣𝘪𝘴? 𝘗𝘦𝘳𝘤𝘢𝘺𝘢𝘬𝘢𝘩 𝘫𝘪𝘬𝘢 𝘯𝘢𝘯𝘵𝘪 𝘬𝘶𝘬𝘢𝘵𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘶𝘢𝘯𝘨𝘯𝘺𝘢 𝘩𝘢𝘣𝘪𝘴 𝘶𝘯𝘵𝘶𝘬 𝘣𝘪𝘢𝘺𝘢 𝘱𝘦𝘯𝘥𝘪𝘥𝘪𝘬𝘢𝘯 𝘢𝘯𝘢𝘬𝘯𝘺𝘢?” Guman sang istri dalam hatinya. 

“𝘜𝘢𝘯𝘨 𝘪𝘵𝘶 𝘮𝘢𝘴𝘪𝘩 𝘬𝘶𝘴𝘪𝘮𝘱𝘢𝘯, 𝘯𝘢𝘯𝘵𝘪 𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘬𝘶𝘣𝘦𝘳𝘪𝘬𝘢𝘯 𝘬𝘦𝘱𝘢𝘥𝘢𝘮𝘶. 𝘚𝘦𝘬𝘢𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘣𝘦𝘳𝘢𝘯𝘨𝘬𝘢𝘵𝘭𝘢𝘩 𝘵𝘦𝘳𝘭𝘦𝘣𝘪𝘩 𝘥𝘢𝘩𝘶𝘭𝘶 𝘬𝘦 𝘮𝘢𝘴𝘫𝘪𝘥 𝘕𝘢𝘣𝘢𝘸𝘪 𝘶𝘯𝘵𝘶𝘬 𝘮𝘦𝘯𝘶𝘯𝘢𝘪𝘬𝘢𝘯 𝘴𝘩𝘢𝘭𝘢𝘵 𝘣𝘦𝘳𝘫𝘢𝘮𝘢𝘢𝘩. 𝘈𝘯𝘢𝘬𝘮𝘶 𝘴𝘶𝘥𝘢𝘩 𝘥𝘢𝘳𝘪 𝘵𝘢𝘥𝘪 𝘣𝘦𝘳𝘢𝘯𝘨𝘬𝘢𝘵” Jawab istrinya untuk sedikit mengalihkan suaminya dari topik uang tersebut.

Sampai di masjid Nabawi Farrukh langsung menunaikan shalat berjama’ah. Betapa rindunya ia menunaikan shalat di masjid yang paling agung setelah masjidil haram ini. Maka ia sungguh-sungguh menikmati sampai selesai shalat dan memanjatkan semua do’a-doanya. Setelah merasa puas beribadah Farrukh bermaksud pulang. Namun ia mengurungkan niatnya. Ia melihat majelis ilmu yang dihadiri oleh banyak sekali ahli ilmu. Jauh didepan sana di atas kursi duduk seorang Syaikh yang tidak terlalu jelas wajahnya. Namun ia sangat yakin syaikh ini adalah ulama besar yang sangat disegani. Ia merasakan dan bisa melihat dari semua orang yang duduk dengan penuh ta’dzim di hapadan syaikh ini. Bahkan yang duduk di barisan terdepan bukan dari golongan orang biasa namun dari kalangan ulama besar seperti Imam Malik bin Anas, Hasan bin Zaid, dan para ulama-ulama besar madinah waktu itu.

Sesampai di rumah, Farrukh menceritakan apa yang ia lihat di masjid Nabawi. Dengan penuh takjub ia menceritakan kehebatan Syaikh yang ia dengarkan kajiannya di masjid nabawi tadi. Sang istri tersenyum mendengar cerita suaminya. 

“𝘚𝘶𝘢𝘮𝘪𝘬𝘶... 𝘢𝘱𝘢𝘬𝘢𝘩 𝘦𝘯𝘨𝘬𝘢𝘶 𝘵𝘢𝘩𝘶 𝘴𝘪𝘢𝘱𝘢 𝘴𝘺𝘢𝘪𝘬𝘩 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘢𝘭𝘪𝘮 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘢𝘯𝘨𝘬𝘢𝘶 𝘬𝘢𝘨𝘶𝘮𝘪 𝘪𝘵𝘶?”Tanya istrinya yang masih tersenyum.. “𝘋𝘪𝘢 𝘢𝘥𝘢𝘭𝘢𝘩 𝘱𝘶𝘵𝘳𝘢𝘮𝘶 𝘴𝘦𝘯𝘥𝘪𝘳𝘪!”

Farrukh tersentak dan hampir tidak mempercayainya. Ia terdiam takjub. Tidak disangkanya syaikh yang ia simak kajiannya tadi adalah putranya sendiri. Tidak henti-hentinya ia membaca tasbih dan tahmid sebagai rasa syukur dan haru setelah mendengar penjelasan istrinya tersebut. 

“𝘚𝘶𝘢𝘮𝘪𝘬𝘶.. 𝘮𝘢𝘯𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘭𝘦𝘣𝘪𝘩 𝘦𝘯𝘨𝘬𝘢𝘶 𝘴𝘶𝘬𝘢𝘪 𝘶𝘢𝘯𝘨 30.000 𝘥𝘪𝘯𝘢𝘳 𝘢𝘵𝘢𝘶 𝘪𝘭𝘮𝘶 𝘥𝘢𝘯 𝘬𝘦𝘥𝘶𝘥𝘶𝘬𝘢𝘯 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘥𝘪𝘢𝘯𝘶𝘨𝘳𝘢𝘩𝘬𝘢𝘯 𝘬𝘦𝘱𝘢𝘥𝘢 𝘱𝘶𝘵𝘳𝘢𝘮𝘶 𝘪𝘵𝘶?” tanya istrinya kepada Farrukh. 

“𝘋𝘦𝘮𝘪 𝘈𝘭𝘭𝘢𝘩... 𝘣𝘢𝘩𝘬𝘢𝘯 𝘪𝘵𝘶 𝘭𝘦𝘣𝘪𝘩 𝘢𝘬𝘶 𝘴𝘶𝘬𝘢𝘪 𝘥𝘢𝘳𝘪𝘱𝘢𝘥𝘢 𝘥𝘶𝘯𝘪𝘢 𝘥𝘢𝘯 𝘴𝘦𝘪𝘴𝘪𝘯𝘺𝘢!” jawab Farrukh dengan penuh bangga. “Ketahuilah suamiku, aku telah menghabiskan semua harta yang engkau amanatkan kepadaku untuk biaya pendidikan anakmu hingga menjadi seperti sekarang ini.”

“𝘋𝘦𝘮𝘪 𝘈𝘭𝘭𝘢𝘩, 𝘦𝘯𝘨𝘬𝘢𝘶 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘮𝘦𝘯𝘺𝘪𝘢-𝘯𝘺𝘪𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘩𝘢𝘳𝘵𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘵𝘦𝘭𝘢𝘩 𝘬𝘶𝘵𝘪𝘵𝘪𝘱𝘬𝘢𝘯 𝘬𝘦𝘱𝘢𝘥𝘢𝘮𝘶” Jawab Farrukh dengan bahagia.

******

Tahukah anda siapa pemuda tersebut yang menjadi anak dari Farrukh? Dialah Rabi’ah Arra’yi bin Abi Abdiirrahman Farrukh, Mufti dan ahli Fiqhnya kota Madinah, tabi’in, guru dari Imam Malik pendiri Madzhab Maliki.

Imam Rabi’ah menjadi ulama besar berkah ibunya yang totalitas dalam memfasilitasi anaknya belajar. Tidak tanggung-tanggung 120 miliyar dihabiskan untuk biaya anaknya menuntut ilmu hanya dalam waktu dua puluh tujuh tahun. Atau setara kurang lebih 370 juta setiap bulannya. Itupun jika dihitung sejak lahir.

Syaikhul Imam Sadiduddin as-Syairozi berkata sebagaiamana dikutip oleh Syaikh az-Zarnuji dalam kitabnya, Ta’lim al-Muta’allim dalam bab pentingnya mengagungkan Guru. “𝘉𝘢𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘴𝘪𝘢𝘱𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘪𝘯𝘨𝘪𝘯 𝘢𝘯𝘢𝘬𝘯𝘺𝘢 𝘮𝘦𝘯𝘫𝘢𝘥𝘪 𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘢𝘭𝘪𝘮, 𝘮𝘢𝘬𝘢 𝘥𝘪𝘢 𝘩𝘢𝘳𝘶𝘴 𝘱𝘦𝘥𝘶𝘭𝘪 𝘥𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘩𝘰𝘳𝘮𝘢𝘵𝘪 𝘱𝘢𝘳𝘢 𝘢𝘩𝘭𝘪 𝘧𝘪𝘬𝘪𝘩 (𝘢𝘩𝘭𝘪 𝘪𝘭𝘮𝘶). 𝘋𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘮𝘣𝘦𝘳𝘪𝘬𝘢𝘯 𝘩𝘢𝘥𝘪𝘢𝘩 𝘱𝘢𝘥𝘢 𝘮𝘦𝘳𝘦𝘬𝘢 (𝘮𝘦𝘴𝘬𝘪𝘱𝘶𝘯 𝘴𝘦𝘥𝘪𝘬𝘪𝘵). 𝘑𝘪𝘬𝘢 𝘵𝘦𝘳𝘯𝘺𝘢𝘵𝘢 𝘢𝘯𝘢𝘬𝘯𝘺𝘢 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘮𝘦𝘯𝘫𝘢𝘥𝘪 𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘢𝘭𝘪𝘮, 𝘮𝘢𝘬𝘢 𝘤𝘶𝘤𝘶𝘯𝘺𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘯𝘫𝘢𝘥𝘪 𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘢𝘭𝘪𝘮.”

Orang dulu bisa menghabiskan 120 miliyar hanya untuk biaya belajar anaknya sampai selesai, lalu orang sekarang menuntut gurunya ikhlas hidup kekurangan tanpa memberikan bayaran yang layak. Sungguh menyedihkan!

𝗔𝗯𝘂𝗹 𝗙𝗮𝗿𝗮𝗷 𝗠𝗼𝗵𝗮𝗺𝗺𝗮𝗱 𝗝𝗮𝘇𝘂𝗹𝗶
𝗦𝗶𝗱𝗼𝗮𝗿𝗷𝗼, 𝟭𝟴 𝗠𝗮𝗿𝗲𝘁 𝟮𝟬𝟮𝟰

Komentar

Advertorial Post