Oleh: Noorhalis Majid
Ada yang berseloroh, bercanda dengan menyindir, bahwa sekarang ini banyak sekali orang baik. Bukan hanya baik, tapi juga ramah luar biasa. Kepada siapa pun yang ditemui, bahasanya sangat santun, pokoknya menghadapi orang yang jauh lebih junior sekali pun, yang diungkapkan “inggih pun, inggih pun”, sangat bersahaja sekali.
Apakah setelah Pemilu, terlebih setelah terpilih, bahasa kesantunan seketika menguap ke angkasa, berubah jadi kesombongan, angkuh, berbusung dan bertepuk dada?
Dalam soal ini, kebudayaan Banjar memberi nasehat sangat arif. Apapun jabatan dan posisi. Apalagi dalam soal politik, hendaknya tetap merendahkan diri kepada siapa saja. Karenanya, sering ada nasehat, “yang tua dihormati, yang muda di sayangi”, dan kepada keduanya tetaplah merendahkan diri.
Ada yang berpendapat, siapa yang suka merendahkan diri, bersamaan itu sebenarnya meninggikan mutu. Setinggi apapun jabatan, biarlah menempatkan diri serendahnya, menjadi biasa saja, agar mudah masuk merasuk ke semua kalangan. Dan kebudayaan Banjar menyebutnya “barandah pada kancur”.
Merendahkan diri, lebih rendah dari tanaman kencur. Kalau tahu tanaman kencur, maka tingginya tidak seberapa, paling tingginya satu meter. Kalah jauh dengan tanaman lainnya, apalagi dibandingkan pohon kayu. Padahal kencur yang rendah tersebut banyak sekali manfaatnya, menjadi obat segala penyakit, Tanaman yang tidak seberapa tinggi, namun kaya manfaat ini, dipinjam menjadi pribahasa, menyebut orang yang suka berendah diri. Tidak mau sombong atau jumawa.
Sikap berendah diri dianggap istimewa, karena sulit dipraktikkan. Apalagi di zaman persaingan yang sangat ketat seperti sekarang ini. Dituntut memperlihatkan keunggulan, kompetensi, bahkan segudang prestasi, itu pun belum tentu mendapat apresiasi.
Namun, bagaimanapun kondisi perubahan zaman, termasuk politik, kebudayaan memberi nasehat agar selalu merendahkan diri, karena sejatinya memang tidak ada yang perlu disombongkan. (nm)
Komentar