Politik Pertunjukan

(Ambin Demokrasi)


Oleh: Noorhalis Majid

Jangan kira “politik” itu isinya serius semua, seperti garis komando terstruktur, atau seperti birokrasi pemerintahan. Politik itu terkadang seperti pertunjukan yang diorganisir, suatu teater yang dipakai untuk mendramatisir obsesi-obsesi kelas berkuasa. 

Persis seperti yang disindir antropolog Clifford Geertz dalam buku Negara Teater, diterbitkan Yayasan Bintang Budaya, Tahun 2000. Buku setebal 564 halaman itu sangat terkenal, menjadi bacaan wajib pengamat politik dan pemerintahan, judul aslinya The Teater State In Nineteenth Century Bali. Mengisahkan kerajaan-kerajaan di Bali Abad ke 19. 

Walau pun mengambil contoh kerajaan-kerajaan di Bali, namun menyindir praktik bernegara, termasuk negara-negara yang mengaku demokrasi di Asia Tenggara. Bahwa negara, dan tentu juga politik, mestinya dimaksudkan memperbaiki segala keadaan yang masih buruk dan kacau, tapi kenyataannya paradok. Satu sisi banyak ketimpangan sosial tidak terselesaikan, bahkan sengaja dibiarkan, tapi sisi yang lain ada kepongahan dan kebanggaan atas status dan kedudukan. 

Mestinya status dan kedudukan, untuk memperbaiki keadaan, bukan untuk menghamba dan melayani para pengendali kekuasaan. 

Buku ini memberikan gambaran, raja atau pemimpin, baik sebagai benda ritual maupun aktor politik, memiliki pasivitas aktif, yaitu diam yang berwibawa, tentu sulit membayangkannya. Padahal diam tidak mengubah apapun, apalagi mengubah dan membangun wibawa. Atau seperti kasih yang keras. Satu sisi melahirkan kebijakan yang menekan, tapi ingin menunjukkan keberpihakan pada kelompok rentan. 

Paradok-paradok itulah yang dianggap sebagai teater atau pertunjukan. Guna membangun kuasa, para pemimpin mendramatisir pangkat dan kedudukan, sehingga memiliki superioritas politik melalui ritual dan upacara-upacara di tengah masyarakat.

Bila pemimpin daerah dan politik, lebih suka upacara, serimonial atau pertunjukkan, dan hanya ingin dilihat bagus melalui layar cinema, tidak ada ubahnya ‘Negara Teater’, sebagaimana disindir Geertz, “hanya melayani kemegahan, bukan kemahiran kekuasaan”. (nm)

Komentar