Dari Tiko Ada Ibrah



TIKO (23) seorang yang fenomenal akhir-akhir ini. Betapa tidak, kisah yang diangkat para youtuber itu cukup menyita perhatian dan empati netizen (warganet). Selama hampir 12 tahun hidup di sebuah rumah besar tanpa listrik dan air bersih, karena kondisi ekonomi yang tak memungkinkan.



Ia yang bernama panjang Pulung Mustika Abima tetap setia menemani sang ibu, Eny Sukaesih (53) yang sejak berpisah dari suaminya, Herman Mudji Santosa memang seorang diri mengasuh Tiko yang masih kecil.

Diduga, sepeninggal suaminya, Eny memang sempat berusaha kecil-kecilan karena usaha yang dikelola peninggalan suaminya, tak mampu diurus alias bangkrut. Tiko bahkan di sekolah sempat menjajakan makanan ringan (kue) buatan ibunya tercinta.

Mungkin tak kuat menahan beban hidup, Eny yang oleh tetangga memang cenderung pendiam dan tamperamental, mulai mengidap depresi. Karena keterbatasan ekonomi, penyakit jiwa Eny semakin hari semakin berat, dan cenderung berat atau Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ).

Berkat keterlibatan seorang youtuber, kisah Tiko pun terangkat ke permukaan, sebagaimana penggalan nama aslinya, Mustika. Sang ibu kini mendapat perawatan yang layak di sebuah rumah sakit jiwa.

Mudah-mudahan, kisah Tiko ini menjadi insiprasi bagi kita. Tak semua akan mampu menjalani kehidupan seperti Tiko, tanpa listrik dan air bersih belasan tahun. Belum lagi kesetiannya merawat ibunya yang mengidap ODGJ. Bagi saya, Tiko adalah anak yang luar biasa baktinya kepada orangtuanya, terlepas bagaimanapun kondisinya.

Boleh jadi, Tiko yang pada mulanya tidak banyak diketahui sosoknya, bahkan oleh warga kelurahannya sendiri di kawasan, Cakung, Jakarta Timur itu, adalah pribadi yang sebenarnya sudah terkenal di langit.

Namun, karena Allah berkehendak, Tiko lalu dimasyhurkan melalui aksi youtuber dan netizen. Luar biasanya, kesabaran Tiko ini makin dipuji banyak pihak, karena diduga Tiko ini bukanlah anak kandung dari Herman (meninggal 2015) dan Eny. Tiko yang wajahnya berpembawaan tenang ini ketika ditanya apakah tidak risih dengan kondisi rumah besar yang rada terbengkalai, dan juga ibunya, cuma pendek menjawab, "Mau bagaimana lagi, aku sudah maklum."

Saya cukup terpana dengan kalimatnya yang tak sekadar teori dalam ilmu tasawuf. Menurut saya, Tiko lebih dari itu, karena ia sudah langsung praktik, menghadapi cobaan Tuhan YME yang tidak semua orang mampu melaluinya. Maklum itu sebagai manifestasi sikap hidup seseorang yang terlalu mengenal dan bahkan mencintai dengan tulus bahkan sejati. 

Ibarat orang yang sudah mencintai dengan sungguh-sungguh, maka bagaimanapun hal ihwal dan kondisinya yang dicintainya, ia akan memakluminya (ridha).

Bukan kah cinta sejati itu memberi segalanya tanpa syarat.

Juga ketika sudah tidak melihat kekurangan tapi hanya melihat kebaikannya meski sedikit sekalipun. Cinta Tiko pada ibunya semakna itu lah adanya.

Kesan lain, bagaimana Tiko yang sepertinya cerdas ini, tetap sopan santun menjawab dan menanggapi komplain dari anak kandung dan cucu dari Herman. Ia dengan rendah hati meminta maaf sebesar-besarnya kepada pihak yang mengklaim lebih "kandung" daripada Tiko.

Namun dari sini bisa kita petik pelajaran (ibrah) bahwa tak selalu watak pengasuh menular habis ke anak. Meski Ibu Eny sebagaimana dipaparkan sejumlah tetangganya cenderung tamperamental, namun, Tiko nyatanya masih bisa berbicara dengan halus dan lembut. Bahkan, banyak kisah, kebaktian anak kandung pun kepada orangtuanya, bisa dilewati seorang anak tiri (bukan kandung).

Semoga almarhum Herman mendapat rahmat dan ampunan Allah berkat pernah mengangkat anak sebaik Tiko. Aamiin. Dan juga Ibu Eny memperoleh yang terbaik dari Allah dengan berkat pernah menyayangi Tiko. Aamiin. Berkat Rasulullah SAW.

Saya sudah pasti tidak sebaik Tiko, dan mudah-mudahan kita semua selalu dalam kebaikan hingga ajal menjemput kita semua. Aamiin. (ap)







Tiko. (viva)

Komentar