Pers itu Sederhana, Bukan Simbol Kemewahan, Namun Jadi Pilar Kebenaran dan Keadilan




JAKARTA- Ulang tahun ke-4, Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) berlangsung sederhana di Gedung SMSI Jakarta Press Club, Jalan Veteran II 7C, Gambir, Jakarta Pusat, Minggu (7/3). Ditandai dengan potong tumpeng dan tiup lilin oleh Ketua Umum SMSI Firdaus, acara ulang tahun SMSI di masa Pandemi Covid-19, dimanfaatkan untuk mendengarkan cerita sukses lima tokoh pendiri pers legendaris di Tanah Air. 

Para tokoh pers yang diulas keteladanan mereka adalah Adam Malik, PK Ojong, Jakob Oetama, Buya Hamka, dan Fachrodin. 
     
Wakil Pemimpin Redaksi Harian Kompas Tri Agung Kristanto yang menjadi pembicara utama pada ulang tahun organisasi pengusaha pers siber, konstituen Dewan Pers ini, sekalian didaulat panitia untuk menceritakan keteladanan pendiri Majalah Intisari dan Harian Kompas PK Ojong dan Jakob Oetama yang melegenda. 
    
Tri Agung menyampaikan pidato persnya diselingi guyonan-guyonan yang membuat para hadirin yang sebagian besar pengurus SMSI terlihat rileks dan tersenyum. 
     
Tri Agung menyampaikan gaya kepemimpinan Ojong dan Jakob. Ojong cenderung keras, sementara Jakob luwes dalam mengelola Kompas supaya tetap hidup. 
     
“Yang mati tidak bisa diajak apa-apa, tetapi yang hidup bisa diajak berjuang, membela kebenaran, keadilan, dan memajukan demokrasi,” kata Tri Agung mengutip Jakob. 
      
Menurut Sekretaris Jenderal SMSI M Nasir, secara sengaja HUT SMSI dirancang untuk mendengarkan cerita sukses tokoh pers inspiratif, supaya para anggota SMSI yang rata-rata pengusaha muda di bidang pers ini mempunyai gambaran bagaimana mengelola perusahaan yang baik. 
     
Setelah contoh sukses Ojong-Jakob, Ketua Bidang Luar Negeri SMSI Aat Surya Safaat memaparkan cerita sukses Adam Malik dalam mengelola dan mengembangkan Lembaga Kantor Berita Antara. 
     
Lalu Ketua Bidang Pendidikan dan Pelatihan SMSI Retno Intani memaparkan perjuangan Buya Hamka dalam mengelola Panji Masyarakat, dan Fachrodin yang mengelola Soewara Moehammadijah hingga berumur panjang. 
     
Haji Fachrodin adalah pelopor pers Muhammadiyah. Sosok kader dan tokoh Muhammadiyah generasi awal ini banyak belajar dari pendiri Muhammadiyah KH Ahmad Dahlan serta belajar secara otodidak. 
     
Biarpun tidak mengenyam pendidikan umum, ia bertumbuh menjadi seorang penulis yang tajam dan disegani.
      
Fachrodin menjadi orang pertama yang memimpin redaksi majalah Soewara Moehammadijah. Ia merintis penerbitan media itu pada 1915 dan menjadi pemimpin redaksi pertama, sementara KH Ahmad Dahlan duduk di jajaran redaksi. 
     
Hadirin HUT SMSI tampaknya masih ingin mendapat cerita lebih detil para tokoh pers tersebut, bahkan ada yang menginginkan dibuka pertanyaan, namun waktunya sudah pukul 12.00. 
     
Para pengurus SMSI yang hadir berasal dari pengurus pusat, DKI Jakarta, Banten (termasuk Kota/Kabupaten Tangerang, dan Tangerang Selatan), dan Jawa Barat (termasuk Bekasi).
     
Dari pengurus SMSI Pusat tampak hadir antara lain Taufiq dan Ervik Ari Susanto (penasihat), Hersubeno Arief (Sekretaris Dewan Pakar),  Ilona Juwita (Ketua Kerjasama dan Pengembangan Usaha), Dr Retno Intani (Ketua Bidang Pendidikan dan Pelatihan), dan Wilson Bernardus Lumi (Ketua Bidang Pendataan dan Verifikasi). 
     
Selain dihadiri para pengurus SMSI yang juga pengelola media pers, acara ini juga dihadiri oleh sejumlah pemimpin media, antara lain penanggung jawab/pemimpin redaksi Netfit.id Agus Hermawan.

Bercerita tentang dua tokoh pers ini, sulit menceritakan secara terpisah karena selama memimpin Harian Kompas keduanya selalu bersama-sama. Keduanya tokoh inspiratif, cocok untuk diteladani oleh para pengusaha pers muda. 
    
Wakil Pemimpin Redaksi Harian Kompas Tri Agung Kritanto ketika diundang menjadi pembicara menyampaikan sekilas keteladanan dan gaya kepemimpinan Ojong-Jakob dalam mengelola Harian Kompas. 
     
Nama lengkap kedua tokoh pers tersebut adalah Petrus Kanisius (PK) Ojong (1920- 1980). Ojong, lahir di Bukit Tinggi, Sumatera Barat 25 Juli 1920, ayahnya bernama Auw Jong Pauw, pedagang tembakau di Payakumbuh. Ibunya Njo Loan Eng Nio. Kedua orangtuanya memberi nama Auw Ojong Peng Koen yang kemudian menjadi PK Ojong. 
     
Jakob lahir di Desa Jowahan, sekitar 500 meter sebelah timur candi termegah Borobudur di Magelang, Jawa Tengah. Mereka bertemu di Jakarta dan kemudian bersama-sama mendirikan Majalah Intisari dan Harian Kompas. 
     
Mereka bersepakat berbagi tugas dalam memimpin Harian Kompas. Ojong menangani administrasi/tata usaha dan bisnis, Jakob Oetama (1931- 2020) menangani bidang keredaksian.  
     
Meskipun Ojong menangani bisnis pers, dia tidak bisa meninggalkan naluri kewartawanannya. Dia kadang-kadang masih menulis tajuk rencana, dan mengelola rubrik Kompasiana yang terkenal, membahas berbagai persoalan di Harian Kompas. 
     
Dalam dunia perusahaan pers, bidang bisnis dan redaksi sama pentingnya, walaupun ada semacam garis demarkasi di antara kedua bidang itu. Kedua bidang tersebut di tangan kedua tokoh ini, Kompas berkembang pesat. 
  
Ojong-Jakob seperti dua sisi keping mata uang. Keduanya berjalan dalam satu ayunan langkah, sama-sama punya latar belakang guru  dan wartawan. Keduanya tidak suka tampil, namun rendah hati, jujur, dan bekerja tuntas. Kemiripan atau kesamaan keduanya mengikat diri mereka mendirikan Majalah Intisari dan Harian Kompas. 
     
Tahun 1940 setelah lulus sekolah guru Hollandsch Chineesche Kweekschook (HCK) di Jatinegara, Jakarta, Ojong menjadi guru sekolah dasar berbahasa Belanda yaitu Hollandsch Chineesche Broederschool St Johannes Berchmans di Jalan Mangga Besar Raya, Jakarta Barat (sekarang Sekolah Budi Mulia). Sementara Jakob juga menjadi guru sejarah di beberapa sekolah di Jakarta sambil menjadi redaktur di Majalah Penabur. 
     
Ojong  tahun 1951 sudah menjadi Pemimpin Redaksi Mingguan Star Weekly, merangkap di surat kabar Keng Po. Star Weekly dan Keng Po berkantor di sebuah ruangan 11 x 5 meter di lantai 2, Jalan Pintu Besar Selatan 86- 88, Jakarta. 
     
Pada tahun 1958, pertama kali Jakob bertemu Ojong yang saat itu menjadi redaktur Keng Po dan Harian Star Weekly. Jakob ingin belajar pada Ojong. Namun Mingguan Star Weekly keburu dibredel 11 Oktober 1961 menyusul Keng Po yang lebih dulu diberangus karena dinilai kritiknya terlalu pedas pada pemerintah. 
      
Dari pertemuan berikutnya keduanya sepakat mendirikan Majalah Intisari pada 17 Agustus 1963. Belum sampai dua tahun Intisari berdiri, keduanya mendirikan Harian Kompas 28 Juni 1965. 
  
Di Intisari dan Harian Kompas, kedua tokoh meletakkan fondasi idealisme, menjunjung tinggi nilai manusia dan kemanusiaan. Meletakkan filosofi dalam pengembangan perusahaan pers. 
      
Dalam merekrut wartawan/karyawan Ojong mengutamakan 'watak baik' daripada keterampilan atau skill yang dimiliki calon karyawan.
     
Seperti dikutip dalam buku 50 Tahun Kompas Gramedia Mengembangkan Indonesia Kecil (Penerbit Buku Kompas, 2013), Jakob menceritakan, Ojong dalam penerimaan karyawan baru atau promosi jabatan ke tingkat lebih tinggi, selalu mengutamakan watak yang baik, jujur, sederhana, rajin, rasional, berinisiatif, bersedia menerima pendapat orang lain, seimbang dan adil dalam memperhatikan anak buah, pandai membantu pekerjaan pada para pembantunya, dan pandai pula mengawasinya. Kecerdasan, kepandaian, dan masa kerja adalah syarat berikutnya. Kekurangan keterampilan bisa ditingkatkan melalui pelatihan, pendidikan, dan kursus. 
     
Ojong dan Jakob sendiri punya karakter hidup sederhana, rendah hati, bertanggung jawab dan bekerja tuntas, dan suka membantu. Jakob menyebut Ojong sebagai manusia amal.
     
PK Ojong meyakini plain living, high thinking (hidup sederhara, berpikir mulia). Kesederhanaan Ojong dan Jakob membuat para wartawan/karyawan atau yang sudah menjadi pejabat di Harian Kompas tidak berani membeli atau membawa ke kantor mobil bermerek terkenal sebagai simbol kemewahan. 
     
Maka sulit mencari merek mobil tertentu yang menjadi simbol kemewahan di lokasi parkir di Kompas, kecuali mobil milik tamu. Meskipun demikian Ojong selalu memikirkan nasib karyawannya.

 “Karyawan menginvestasikan hidupnya pada perusahaan. Jadi perusahaan juga harus memikirkan jaminan masa tua mereka,” kata Ojong. Dalam menjamin masa depan karyawan, pimpinan Kompas itu mengembangkan bisnisnya ke penerbit dan toko buku Gramedia, dan dunia perhotelan yang diberi nama Santika. Tujuannya, kalau Kompas diberangus, karyawan masih ada tempat bekerja. 
     
Ada pesan penting dari Ojong untuk para pengelola perusahaan. Menurut dia, perusahaan yang baik adalah perusahaan yang dapat menjamin kesejahteraan para karyawannya, selain perusahaan yang pemimpinnya tidak onmisbaar. 
     
“Artinya kalau pemimpin-pemimpin itu tidak ada lagi, perusahaannya harus bisa berjalan tanpa mereka. Jadi perlu disusun suatu sistem untuk memungkinkan hal itu, dan membentuk kader-kader pengganti para pemimpin yang lama,” tulis Helen Ishwara  menjelaskan dalam buku tersebut. 




Ketua Umum SMSI Firdaus menegaskan pentingnya  meningkatkan semangat kebersamaan masyarakat pers untuk menjaga negeri. 
     
“Dalam rangka memperingati HUT SMSI ke-4 ini, saya merasa perlu mengajak kepada seluruh ketua untuk bersatu menjadikan lembaga kita ini sebuah bangunan yang kokoh,” kata Firdaus. 
     
Menurut dia, pernyataan itu akan dapat terlihat dari kebersamaan gerak dan kebersamaan visi kita untuk mencapai tujuan bersama. “Media online yang kita geluti ini, waktunya sudah pendek. Kecuali kita membangun inovasi-inovasi,” tuturnya. 
     
Ia mengingatkan membangun inovasi dan jaringan itu biayanya besar dan mahal. Maka jalan keluarnya bisnis bersama dengan tidak meninggalkan rumah yang telah djbangun. 
    
“Mari kita bangun rumah besar kita bersama. Siberindo.co rumah besar kita,” kata Firdaus yang menyebut Siberindo.co sebagai newsroom bersama SMSI yang kini beranggotakan 1.224 pengusaha media siber yang tersebar di Tanah Air. 
     
“Para pengurus dan anggota SMSI Se-Tanah Air perlu dicatat, siberindo.co merupakan icon kebersamaan kita, karena dunia semua tahu kita yang melahirkannya,” katanya. (**)

Komentar