Perlu Inovasi Tenis Lapangan, Mengapa?



OLAHRAGA tenis lapangan memang pernah mengalami masa jayanya, era 80-an hingga 90-an. Kita pernah memiliki Yustedjo Tarik, Tintus Ariantowibowo, Suzanna, Yayuk Basuki, hingga Angeliqe Widjaya. Mereka ini dikenal karena berprestasi level Asia bahkan dunia.

Seiring waktu, di atas 2000-an, tenis dari segi prestasi mengalami penurunan. Tak hanya itu, kalau dulu lapangan tenis di berbagai daerah menjamur dan banyak penggemarnya, maka di era milenium ini, ada penurunan minat, dan bahkan lapangan tenis yang dulu diperebutkan, semakin sepi pemain.

Ironisnya, ada sejumlah turnamen justru lebih memfasilitasi kalangan manula, seperti kelompok 40 tahun, 50 tahun dan 60 tahun. Turnamen junior semakin jarang dan seiring juga semakin langka remaja mau menggeluti cabor ini.

Memang ada kesan bahwa olahraga ini mahal, mulai raket, sepatu, bola bahkan untuk sekadar mendirikan sebuah lapangan tenis pun tergolong mahal. Bagi masyarakat awam pun sudah enggan untuk mengenal tenis lapangan begitu mengetahui sulit mengingat sistem scoring-nya.

Ketika gebyar tenis sulit diwujudkan dengan langkanya sponsor, inovasi pada cabor ini juga terkesan lamban, tidak seperti bulutangkis, bola voli atau basket bahkan sepakbola. Ada kabar bahwa cabor tenis kurang menjual di tayangan televisi, karena permainannya terlalu lama dan bertele-tele. Belum lagi soal wajib mingkemnya para penonton di lapangan tenis selama bola jalan dalam pertandingan. Beda sekali dengan bulutangkis yang membiarkan teriakan penonton kala bola jalan.

Sponsor sangat mungkin mempertimbangkan soal keramaian penikmat tenis. Jika olahraga ini ramai dan mengundang perhatian publik, maka boleh jadi para sponsor pun ringan tangan membiayai tenis sekaligus sebagai ajang promosi usahanya.

Saya berpikir perlu inovasi tenis lapangan, misalnya Pelti membuat terobosan scoring. Skor dibuat lebih sederhana, dengan membuat the best 5 set (kemenangan dalam 3 set), di mana tiap set memakai tie break 10. Selain akan memudahkan kalangan pemula dan awam mengenal tenis, juga akan lebih efisien jika harus disaksikan dan disiarkan TV. 

Selanjutnya, PP Pelti membuat semacam Liga Tenis (sementara khusus putra). 34 Pengprov Pelti se-Indonesia wajib mengikuti liga ini. Guna penjenjangan, buat liga ini menjadi tiga kasta, Liga 1 terdiri 14 tim, Liga 2 10 tim, dan Liga 3 juga 10 tim, lengkap dengan promosi dan degradasinya. 

Setiap tim Pengprov Pelti wajib diisi 4 petenis dengan cadangan 2 petenis (total 6 petenis tiap tim). Pertandingan terdiri dua partai tunggal dan satu partai ganda yang tak boleh diisi rangkap. Ini hanya sebagai bentuk pengembangan banyak petenis. Liga berjalan dengan kompetisi penuh memakai sistem home and away. Saya optimis dengan dibikin format yang lebih sederhana dan lebih luas, perhatian publik juga akan lebih terbuka. Memang agak mirip liga sepakbola, namun tak ada salahnya jika kita 
membawa tenis tidak lagi sekadar sebagai olahraga perorangan, tapi sudah memanfaatkan juga semangat kedaerahan. 

Sebab liga ini diarahkan menjadi industri olehraga, maka tidak menutup kemungkinan tim memakai sistem semi profesional dalam mengadakan petenisnya. Ini tentu sehat bagi petenis-petenis yang memang bagus, dalam artian akan membuat olahraga ini layak disebut sebagai lahan untuk hidup layak. Bagaimana pembinaan petenis lokal? Tentu saja selain liga semi pro ini, PP Pelti mesti bijak juga untuk menggelar kompetisi teratur bagi tim juniornya (maksimal 18 tahun). Jika sudah 19 tahun petenis diarahkan berkiprah di liga semi pro. Tapi jika tidak serius menempa diri, bisa saja karirnya terhenti di daerah asal, tetapi masih bisa bersaing untuk menjadi pion di liga yang lebih rendah kastanya. 

Saya optimis, ketika liga berjalan dengan teratur dan perhatian publik semakin ramai, dan begitu juga para remaja semakin tertarik ikut dan giat berlatih, sponsor akan datang dngan sendirinya. Jika memungkinkan lagi, Pengprov Pelti tiap provinsi pun diwajibkan juga menggelar kompetisi antar Pengkab Pelti-nya masing-masing. Organisasi yang membawahi cabor ini sudah ada sistemnya, tinggal kemauan dan kerja keras saja lagi guna mewujudkan liga ini.





 

Komentar