Politik, Nang Waras Bakalah

(Ambin Demokrasi)


Oleh: Noorhalis Majid

Dalam menghadapi situasi politik yang penuh dinamika, mestinya semua orang yang melek politik, mampu berpikir jernih, tidak terbawa emosi. Kalau ada yang kalap dan emosional, lebih baik mengalah saja, jangan ikut kalap. 

Mengalah bukan berarti salah, tapi mampu menahan diri, tidak terbawa suasana yang dapat meminggirkan akal sehat. Dengan mengalah, justru menjadi pemenang, sebab sanggup menaklukkan diri sendiri untuk tidak emosi, kebudayaan Banjar memberi nasehat jitu, “nang waras bakalah”.

Nasehat ini tentu dikenal dalam berbagai bahasa – pada berbagai suku - budaya, dengan maksud yang sama. Kebudayaan saling memberi kontribusi - memperkaya satu dengan lainnya.

Waras, berarti mampu berpikir sehat, tidak dikendalikan emosi – apalagi dipengaruhi alam bawah sadar. Situasi yang sarat emosi, sering kali menghilangkan kewarasan. Apalagi bagi yang gemar memperturutkannya, hilanglah semua kecerdasan, pengetahuan dan bahkan wibawa, yang ada hanya emosi dan nafsu, terekspresi menjadi kemarahan – arogansi - ingin menang sediri, dan lain sebagainya yang bersifat rendahan.

Manusia bermartabat, mesti waras, selalu menggunakan akal sehat. Kalau dihadapkan pada masalah atau bahkan konflik sekalipun, jangan lupa menggunakan akal sehat agar mampu menggurainya, dan masalah diharapkan tidak semakin kusut. 

Semakin waras, tentu semakin bermartabat. Rasanya tidak ada manusia yang memiliki martabat tinggi namun tidak waras. Bahkan menjaga kewarasan, adalah bagian dari menjaga sifat kemanusiaan.  

Mengalah, bukan berarti kalah. Tetapi wujud kebesaran hati untuk lapang menerima situasi apapun. Dan hanya yang waras mampu melakukannya, yang tidak waras tidak akan memiliki kelapangan hati. 

Bila bawaan hati selalu ingin menang, apalagi berusaha menghalalkan segala cara agar menang, dapat dipastikan tidak waras. Betapa ruginya menjadi manusia, namun tidak waras. 
Menghadapi situasi seperti itu, lebih baik nang waras bakalah. (nm)

Komentar