Perdamaian Palestina-Israel Hampir Terjadi Zaman Gus Dur




PADA tahun 1994, Gus Dur pernah diundang secara langsung oleh Perdana Menteri Israel Yitzhak Rabin untuk menyaksikan penandatanganan perjanjian damai antara Israel dan Yordania. Gus Dur merupakan tokoh Islam di Indonesia. Ia lahir dari keluarga kiai dari pondok pesantren. 

Ia juga seorang pemimpin ormas Islam terbesar, yaitu Nahdlatul Ulama. Namun, ia jauh dari stereotip bahwa pemimpin Islam harus memusuhi Israel. Sebaliknya, ia dekat dengan Israel. Kisah diundangnya Gus Dur oleh Yitzhak Rabin itu ditulis oleh Djohan Efendi dalam Damai Bersama Gus Dur (2010: xxxiii). Djohan menceritakan bagaimana Gus Dur menangkap hasrat damai dari orang-orang Israel, tidak peduli latar belakangnya. Saat itu Gus Dur bertemu dengan orang Yahudi, Arab, Muslim, Kristen, dan ia merasakan hasrat yang sama dari mereka. 

Mereka mengatakan kepada Gus Dur, hanya mereka yang berada dalam keadaan perang yang bisa merasakan apa kata damai. Juga kalangan elite, mereka pun menginginkan perdamaian. Hal itu terlihat ketika Yasser Arafat dan Yitzhak Rabin sempat mengunjungi Jakarta dan menemui Presiden Soeharto meminta peranan Indonesia sebagai negeri Muslim terbesar untuk membantu proses perdamaian Palestina dan Israel.   

Gus Dur bukan tidak tahu bagaimana penderitaan rakyat Palestina. Ia paham benar konflik yang terjadi di sana. Justru karena itu, pada saat ia menjadi presiden, Gus Dur mewacanakan membuka hubungan diplomatik dengan Israel. Gagasan Gus Dur sederhana, Indonesia tidak mungkin bisa berperan dalam perdamaian Palestina dan Israel jika tidak menjalin hubungan diplomatik dengan keduanya. 

Selain itu, Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Gus Dur punya kepentingan taktis. Menurut Budiarto Shambazy dalam Damai Bersama Gus Dur (2010:88), ada dua alasan yang diutarakan Gus Dur mengapa ia ingin menjalin hubungan diplomatik dengan Israel. Pertama, Gus Dur ingin memastikan kapitalis George Soros, yang keturunan Yahudi, tidak mengacaukan pasar modal. 

Kedua, ingin meningkatkan posisi tawar Indonesia di Timur Tengah, sebab selama itu Timur Tengah tidak pernah membantu Indonesia menghadapi krisis. Daya dan posisi tawar Indonesia saat ini semakin kuat di tengah bangsa-bangsa Arab. Mereka kerap meminta bantuan kepada Indonesia untuk menghadapi konflik-konflik yang ada. 

Melalui Menteri Luar Negeri Alwi Shihab, Gus Dur dalam pandangan Budiarto Shambazy setidaknya mengintrodusir tiga elemen politik luar negeri, yaitu menjaga jarak yang sama dengan semua negara, hidup bertetangga dengan baik, dan kebajikan universal. Sejarah mencatat, Palestina merupakan negara pertama yang mengakui kemerdekaan Indonesia saat pertama kali diproklamirkan pada 17 Agustus 1945 saat umat Islam di seluruh dunia sedang menjalankan puasa Ramadhan. 

Upaya bangsa Indonesia untuk mendapatkan dukungan negara-negara di dunia bukan tanpa upaya, karena para pendiri bangsa, terutama para kiai dari kalangan pesantren mengenal dan berhubungan baik negara-negara di Timur Tengah sebagai sesama negara mayoritas Muslim kala itu. Memahami akar sejarah tersebut, bangsa Indonesia juga terus berusaha keras untuk membantu kemerdekaan rakyat Palestina yang hingga kini masih jauh panggang dari api. 

Diplomasi tiada henti dilakukan oleh pemerintah RI untuk menghentikan kebrutalan Israel yang di-backup penuh oleh Amerika Serikat dalam menduduki wilayah Palestina sebab setiap hari menimbulkan banyak korban. Eskalasi konflik bersenjata tersebut semakin meningkat ketika Amerika Serikat memindahkan kantor Kedutaan Besarnya ke Yerussalem pada 2018 di era Presiden Donald Trump. Itu artinya, Israel secara tidak langsung telah menguasai Al-Quds. 

Padahal, kota suci tersebut merupakan kediaman dari tiga bangsa, Islam, Nasrani, dan Yahudi. Artinya, Israel seharusnya tak saling mengoloni, melainkan harus hidup berdampingan sebagai bangsa-bangsa lainnya. Medan konflik Palestina-Israel meluas ke sejumlah negara termasuk Indonesia. Namun, konflik yang muncul justru dianggap sebagai konflik agama sehingga memunculkan sentimen kaum beragama di dalam negeri. Bahkan kini dijadikan komoditas politik untuk menarik simpati sejumlah golongan dalam rangka meraih kekuasaan. (Baca Makarim Wibisono, Diplomasi untuk Palestina: Catatan Pelapor Khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa (LP3ES, 2017).

Makarim Wibisono merupakan salah seorang diplomat senior yang ditunjuk menjadi pelapor khusus untuk PBB dalam upaya mendapatkan informasi valid mengenai konflik Palestina-Israel. Informasi-informasi dari pelapor khusus tersebut dijadikan pertimbangan-pertimbangan dalam memutuskan kebijakan dua negara serumpun itu. 

Namun, informasi dan data lengkap yang fakta-fakta di lapangan yang didapatkan oleh Makarim Wibisono seolah hanya menjadi pelengkap report. Sebab hingga kini, PBB tidak berkutik menyelesaikan konflik yang telah merenggut banyak nyawa tersebut. 

Setiap upaya pendudukan selalu memunculkan tragedi dan banyak korban dari kalangan sipil. Upaya pendudukan inilah yang dilakukan oleh pihak Israel sehingga mendapat perlawanan dari rakyat Palestina. 

Namun, belum sempat upaya Gus Dur mendamaikan dua bangsa bertikai itu, ia keburu dijatuhkan dalam sidang MPR yang dipimpin Amien Rais pada 23 Juli 2001. Padahal, Gus Dur dalam pendekatannya dua bangsa itu diharap akan berdiri sejajar. 

Peta 1967

Solusi dua negara Israel dan Palestina di dalam satu kawasan yang merujuk peta pembagian wilayah 1967, sebetulnya bisa dijadikan solusi jangka panjang meredakan konflik Israel-Palestina yang tak kunjung usai. Pemerintah AS, bahkan dibawah Joe 
Biden, saat ini telah menyatakan komitmennya pada solusi dua negara merujuk peta sepanjang garis perbatasan 1967.


Solusi dua negara dengan merujuk peta 1967 ini, menurut seorang pejabat senior AS, Pihak AS sendiri telah menyepakati peta 1967 yang membagi dua negara Israel dan Palestina. Dan AS harus menekankan kesepakatan itu dengan Israel, termasuk mendamaikan negara Arab-Israel dengan apa yang disebut Abraham Accord.

Peta garis 1967 merujuk pada garis gencatan senjata dari sebelum Perang Enam Hari, ketika Israel mengalahkan tentara gabungan Mesir, Yordania, dan Suriah, merebut Gaza dari Mesir, Dataran Tinggi Golan dari Suriah, serta merebut Tepi Barat dan Yerusalem Timur dari Yordania. Tepi Barat kini menjadi rumah bagi sekitar 500.000 pemukim ilegal Israel. 

Masyarakat internasional secara luas menganggap pemukiman Yahudi ilegal yang terus bertumbuh di wilayah Tepi Barat tersebut sebagai penghalang perdamaian. Mantan Direktur Eksekutif Human Rights Watch Kenneth Roth mengatakan bahwa dukungan AS dan Barat yang tiada henti-hentinya terhadap solusi dua negara akan percuma karena aktivitas ilegal Israel di Tepi Barat yang diduduki.


"Solusi dua negara itu bagus tapi sudah tidak ada lagi," kata Roth."Prospek solusi dua negara menjadi semakin jauh karena proyek pemukiman (ilegal) dan pengurukan Tepi Barat," ujarnya.

Blokade Gaza dari laut, darat dan udara, yang lebih dari sekadar mencegah Hamas meluncurkan roket, juga berperan, kata Roth, seraya menambahkan bahwa blokade itu bertujuan untuk menghancurkan ekonomi daerah kantong Palestina yang terkepung itu.

Pekan awal Oktober 2023, Hamas yang mengontrol Gaza menyerang Israel dan selanjutnya, kedua kubu saling serang sehingga dalam peperangan ini, setidaknya ada korban jiwa sebanyak 1.600 jiwa, kebanyakan dari kubu Palestina. 


Bagaimana posisi Indonesia sekarang sebagai negara muslim terbesar di dunia? Kalau ingin berperan lebih besar, cara Gus Dur sebenarnya bisa dipakai, tapi belum apa-apa, kemarin tim sepakbola Israel di Piala Dunia U-20 2023 malah ditolak datang dan tampil di Indonesia. Kita memang tertinggal dari pemikiran Gus Dur yang lebih maju dari masanya sendiri. (nuonline/republika)

Komentar