Nasib Petani Tak Beranjak, Lembaga Pertanian Korup, Lahan Dibakar, Semua Keasapan



ERA Soeharto, petani itu bisa menjadi sangat sejahtera dan sudah biasa kalau dari hasil pertanian, para petani lantas naik haji. Hingga 70 persen warga Indonesia pun hidup dari sektor pertanian dan diselingi perkebunan. 

Namun, primadona bidang pertanian, sejak era 2000-an mulai bergeser ke sektor pertambangan dan perkebunan. Mulai itu, yang sejahtera dan kaya raya, kebanyakan dari sektor pertambangan. Kita tak lagi menjadi negara swasembada pangan, karena beras juga terbukti banyak dari impor.

Saat ini, pertanian seperti anak tiri, meski setidaknya 60 persen warga Indonesia bermatapencaharian di bidang pertanian dan nelayan. Banyak kemiskinan juga tak jauh dari sektor pertanian. Ironisnya, dugaan korupsi juga sedang hangat-hangatnya terbit dari Kementerian Pertanian. Mentan SYL pun diperkirakan jadi tersangka dalam kasus ini.

Banyak kabar juga menyebut potret manipulasi data dari sektor pertanian. Misal di suatu desa, fakta lahan pertanian yang digarap cuma 200 hektar, begitu masuk bank data provinsi bisa berubah menjadi lebih banyak dan luas hingga tiga kali lipat.

Entah apa maksudnya, me-mark-up data, namun sangat mungkin tujuannya agar kucuran dana dari pusat bisa lebih besar. Apakah dana yang besar itu bisa mensejahterakan petani atau setidaknya bisa membantu petani mengelola lahannya tampaknya tidak juga. Buktinya, para petani masih banyak yang hidupnya di bawah garis kemiskinan, hingga mereka membersihkan lahannya dengan cara primitif yakni dengan cara dibakar. Kabid Pengendalian dan Penanggulangan Bencana Pertanian Dinas Pertanian Banjar, Imelda Rosanty juga sebatas cuma bisa mengimbau agar petani jangan membakar lahan pasca panen.

Tidak banyak langkah nyata bagaimana pemerintah membantu mengolah lahan pertanian secara lebih modern tanpa harus membakar lahan. Jangan mimpi dulu, pertanian saat ini dikelola dengan sangat canggih seperti di Jepang. 

Di Kalsel, kabut asap makin parah membuat Kapolda Kalsel Irjen Andi Rian cukup geram, dan berjanji menindak tegas pelaku karhutla. Setiap kemarau tiba, ya kebakaran lahan di mana-mana, dan kabut asap menyebar ke mana-mana.

Belum lagi permainan sedikit kotor dalam kebijakan impor beras, yang terbukti tidak bakal sejalan dalam upaya meningkatkan kesejahteraan petani dalam negeri. Atau dalam kebijakan yang lebih kedaerahan, petani lokal sekarang menjadi seadanya dalam bertani, karena hampir mustahil bisa untung karena di pasaran, serangan beras dari luar daerah juga cukup masif bertebaran, dengan dalih menekan inflasi harga-harga sembako.

Andai saja, triliunan rupiah dalam program pertanian benar-benar menyentuh langsung ke petani, mungkin tak lagi ada petani membakar lahan kalau sekadar untuk membersihkan lahan pasca panen. Andai saja, tak ada pejabat serakah yang suka mengambil jatah dari importir beras, maka boleh jadi petani bisa lebih semangat mengolah lahan tidurnya. Petani sudah setengah putus asa dengan lahannya, sehingga banyak lahan pertanian terpaksa dijual kepada cukong-cukong perumahan (developer). Tak aneh, kalau banyak akhirnya perumahan justru berdiri di atas lahan produktif.

Inflasi beras dan sembako pun sejatinya tak harus terjadi, ketika petani sudah benar-benar sejahtera dan ikhlas mengeluarkan zakat pertaniannya sebesar 10 persen. 

Sudah berapa rezim sejak Orde Baru tumbang 1998, sepertinya upaya membuat pertanian menjadi raja di rumah sendiri seperti cuma mimpi, hingga muncul ide para bacapres seperti Prabowo, Ganjar dan Anies bahwa ke depan akan memprogramkan kedaulatan pangan. Yah, semoga saja ada langkah konkrit mulai 2024 ini, seiring ada Presiden baru.

Untuk saat ini, mari kita nikmati saja berita-berita korupsi dari berbagai bidang, utamanya dari lembaga pertanian. Kemudian kita nikmati saja ada berita para tersangka pembakar lahan dari kalangan petani. Lalu kita nikmati juga kabut asap yang sengak di pagi hari selama kemarau. 

Allah SWT sejatinya tidak akan menzalimi hambanya, karena keruwetan dunia pertanian tentu akibat ulah oknum dan kita sendiri. Yang salah memang kita juga yang serakah dengan jabatan dan harta. Kita salah, karena berharap berkah Allah namun, ibadah kita juga masih di bawah standar para shalihin. Zakat pertanian itu semestinya 10 persen, tapi yang dikeluarkan kurang dari itu.

Sebagian penceramah juga kayaknya belum perhatian pada fenomena pertanian dan asap, karena kadang  cuma nyindir isi amplop yang kurang tebal meski dengan gaya lawakannya. Semoga Allah berkat bulan mulia Rabbiul Awal ini mengampuni dosa kita semua. Semoga kita dibantu Allah untuk menjadi pribadi-pribadi yang jujur, sehingga impian kedaulatan pangan bisa terwujud, dan semua menjadi sejahtera, kabut asap tak lagi ada, aamiin. (ap)

 

 

Komentar