Tahun Politik, "Pandir Kaya Timbangan Dadak"

(Ambin Demokrasi)


Oleh: Noorhalis Majid

Di pojok kampung Sungai Andai, ada warung ketupat, pagi hari setelah jalan santai, kami makan di warung itu. Sambil menikmati ketupat dan secangkir teh hangat, ngobrol dengan tukang warung. “Sekarang banyak orang baik pak, bicaranya ramah, menyenangkan hati, janji ini - itu, mudahan-mudahan selamanya baik”, kata tukang warung tersenyum tipis. 

Lalu kami dan beberapa orang di warung, ngobrol ala warung berbagai fenomena politik. Menarik, sebab warga menemui langsung, banyak orang tetiba sangat baik. Berbicara baik dan agak berlebihan, sehingga terkesan lebay. Terhadap fenomena ini, kebudayaan Banjar menyindir dengan ungkapan “pandir kaya timbangan dadak”. 

Ucapan seperti timbangan dedak. Dedak, hasil dari penggilingan padi, digunakan untuk makanan ternak, harganya murah, mudah diperoleh, terutama di penggilingan padi. 

Kalau kita membeli beras, takaran atau timbangan pasti tepat. Sementara kalau beli dedak, penjual menimbangnya lebih. Beli satu kilo, dedak yang didapatkan lebih dari satu kilo. Bahkan kelebihannya sesuka penjual menambahkan. 

Rasanya tidak pernah dedak ditimbang dengan ukuran yang tepat, selalu dilebihkan. Dipinjam menyindir orang yang suka melebihkan pembicaraan. 

Berita sejengkal jadi sehasta, jadi satu depa. Tidak tepat dan apa adanya. Antara fakta dan imajinasi bersatu. Ingin dibantah, ada faktanya. Mau dibenarkan, tapi sudah dilebihkan. Sehingga apapun yang disampaikan, hanya bisa dipercaya sebahagian, sisanya dianggap angin lalu, tidak bisa dipegang.

Warga pemilih sudah cerdas. Bicaralah seadanya, jangan suka melebihkan. Apalagi menyangkut hal-hal yang sangat penting. Kalau sekedar cerita lepas, lelucon atau kisah menghibur, boleh saja dilebihkan, dikurang atau dipoles sedemikian rupa, semampu imajinasi. 

Namun, bila menyangkut informasi – berita – kabar penting, apalagi komitmen politik, hendaknya jangan lebay, sesuai kenyataan saja, jangan sampai “pandir kaya timbangan dadak”. (nm)

Komentar