Politik, "Tahu Ai Gatah Lagi Larang"



Oleh: Noorhalis Majid

Di negeri ini, politik jadi panglima. Sebagian besar perhatian terfokus pada soal politik. Sekedar soal pecahnya koalisi parpol pendukung pilpres, beritanya besar sekali, seperti menyita perhatian semua orang, padahal masalah lain seperti kabut asap, buruknya udara Jakarta dan kota-kota besar, serta ancaman gagal panen karena kemarau panjang, pasti lebih penting dari soal pecahnya koalisi parpol. 

Fokus pada satu soal lantas mengalahkan hal lain yang lebih penting, kebudayaan Banjar menyindir dengan ungkapan, “tahu ai gatah lagi larang”. Tahu aja karet sedang mahal, begitu arti harfiahnya. 

Sebab karet sedang naik harganya, seluruh waktu habis mengurus karet, mulai dari menyadap sepenuh waktu, sampai proses lainnya, sehingga masalah lain tidak terperhatikan. Dipinjam sebagai perumpamaan, melihat perlakuan, baik perhatian atau pun tindakan yang tidak seimbang. Padahal seluruh persoalan tersebut mestinya mendapat porsi perhatian yang sama.

Dalam keseharian misalnya, karena fokus dengan sepeda, Sebagian besar waktu dan perhatian, terkuras mengurusi sepeda, uang juga habis untuk sepeda. Tidak terperhatikan lagi masalah lainnya. Bahkan pintu masuk masalah lain, mesti melewati hal-hal berkaitan dengan sepeda. Demikian halnya bila lagi hobi burung atau musik, semua berfokus pada burung atau musik tadi. 

Idealnya mampu bersikap seimbang, memberikan perhatian yang sama pada banyak persoalan. Jangan karena lagi senang pada satu hal, lantas mengabaikan urusan lainnya. 

Sekalipun sulit menghindari yang dianggap istimewa, namun berlaku adil, bersikap proporsional, mesti menjadi dasar dan pondasi dalam berbagai hal.

Sebaliknya, bila benar-benar tak terhindarkan, karena misalnya sekarang lagi tahun politik, semua pembicaraan hanya soal politik, maka terpaksa kita semua belajar memahami apa yang menjadi fokus semua orang. Beradaptasi, jangan melawan, “tahu ai gatah lagi larang”. (nm)

Komentar