Kontroversi Nasab Habib dari Jalur Ubaidillah

Mustahil Para Habaib Itu Bernasab Kepada Nabi Muhammad SAW
KH Imaduddin Utsman Al Bantani


Penulis: KH Imaduddin Utsman al-Bantani

Para habib mengaku sebagai keturunan Nabi Muhammad Saw melalui jalur Ubaidillah bin Ahmad bin Isa. Tetapi, nasab mereka tertolak oleh kajian pustaka. Nama Ubaidillah tidak tercatat sebagai anak Ahmad bin Isa. Nama Ubadillah muncul pertama kali dalam kitab seorang habib 550 tahun setelah wafatnya Ahmad bin Isa. Sebelumnya, tidak pernah dicatat dalam kitab nasab para ulama nasab, maupun kitab-kitab sejarah.

Bagi penulis, nasab mereka tertolak dan terputus kepada Baginda Nabi Muhammad Saw. Kuat sekali indikasi sosok Alwi dan ayahnya, Ubaidillah, keduanya sebagai tokoh fiktif. Algoritma penelusuran dua tokoh ini, mengarah ke jalan buntu. Bukan hanya berkonklusi mereka bukan keturunan Nabi Muhammad Saw, tetapi sangat kuat diyakini, keduanya sama sekali tidak pernah ada.

Nampaknya, tokoh yang benar-benar historis dari keluarga habib, dimulai dari nama Muhammad bin Ali yang digelari keluarga mereka, ratusan tahun setelah kematiannya, sebagai al-Fakih al-Muqoddam. Inilah nama inti keluarga mereka. Habib Ali al-Sakran dan keluarga lainnya dari abad 9 hijriah, berusaha mencari tahu siap silsilah leluhurnya. Jauh di mirbat, ada ulama besar bernama Muhammad bin Ali Al-Qola’i (w. 577 H), namanya masyhur sebagai ahli fikih yang pendapatnya dikutip dalam kitab-kitab mu’tabarah madzhab Syafi’i. Berdasar tulisan KH Imam Jazuli dari Cirebon, yang menyebut al-Qola’I ini sebagai Ba Alawi, mungkin ia berdasar suatu sumber, kemungkinan besar, permulaan ijtihad mengarah kepada bahwa kakek al-Fakih al-Muqodam adalah Muhammad bin Ali al-Qola’i. Silsilahnya menjadi al-Fakih al-Muqoddam bin Ali bin Muhammad bin Ali al-Qola’i.

Karena suatu hal, mungkin adanya data silsilah keluarga asli al-Qola’I yang ditemukan, maka nama al-Qola’I ini kemudian dirubah menjadi Kholi’ Qisam. Masih mirip. Jadi urutan silsilah Fakih Muqoddam menjadi: al-Fakih Muqoddam Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ali Kholi’ Qisam. Nama Mirbat yang sudah terlanjur disematkan kepada Muhammad bin Ali, tetap dipakai. Nama julukannya menjadi Muhammad Sohib Mirbath. Hari ini, kita bisa menyaksikan adanya makam dua tokoh ini: Muhammad bin Ali al-Qola’I dan Muhammad bin Ali Kholi’ Qisam (Sohib Mirbath). Dua nama yang sama, dengan julukan-nisbat yang mirip, dan hidupnya sezaman. Harus membuat curiga para peneliti, termasuk Gus Rumail.

Julukan Sohib Mirbath, kita terjemahkan saja: “Yang punya Kota Mirbath”, pantasnya disematkan kepada Muhammad bin Ali al-Qola’I, mengingat nama besarnya dan karangannya yang tersebar. Tetapi, kenyataannya diberikan kepada Muhammad bin Ali Ba Alawi, padahal namanya tidak dikenal para ulama, kenapa? Wallahu a’lam. Gus Rumail mungkin dapat menelusuri. Dan saya yakin, Gus Rumail hanya akan sanggup menelusuri keluarga habib sampai kepada nama al-Fakih al-Muqoddam. Tentu dengan nama Muhammad bin Ali, bukan al-Fakih al-Muqoddam. Penulis yakin, manuskrip tahun 697 H yang ditemukan Gus Rumail, jika benar, tidak menyebut nama Muhammad bin Ali dengan gelarnya, al-Fakih al-Muqoddam, tetapi menyebut nama aslinya, Muhammad bin Ali, karena gelar itu baru di zaman Habib Ali al-Sakran. Dan Saya yakin, nama Muhammad bin Ali (al-Fakih al-Muqoddam) inilah, nama yang terakhir yang bisa ditemukan sejarawan dalam melacak keluarga habaib. Al-Fakih al-Muqoddam wafat 652 H. lalu ia keturunan siapa? Wallahu a’lam bishowab.

Yang jelas, ia bukan keturunan Nabi Muhammad Saw jalur laki-laki, berdasar hasil tes DNA keturunannya yang ada hari ini. Sebagaimana berita yang disampaikan Doktor Sugeng Sugiharto: marga al-Habsyi, al-Segaf, Jamalullail, dan BSA (mungkin maksudnya Bin Syekh Abu Bakar) itu, masuk haplogroup G-Y32613. Sedangkan untuk bisa disebut keturunan Nabi Muhammad ia harus memiliki haplogroup yang sama dengan Sayidina Ali bin Abi Talib, karena ia adalah menantu dari Nabi Muhammad Saw.

Haplogroup saidina Ali adalah J-FGC10500. Menurut para ahli, mustahil jalur garis laki Sayidina Ali tidak sama haplogroupnya dengan Sayidina Ali. Maka, menurut para ahli, berdasar hasil dari para habib yang telah melakukan tes DNA dengan haplogroup G, mereka bisa disebut keturunan Nabi Muhammad itu hukumnya mustahil. Bahkan, masih menurut para ahli, para habib dengan hasil G ini, tidak pula keturunan Nabi Ibrahim As, karena haplogroupnya nabi Ibrahim itu J-FGC8712.

Hasil tes DNA menurut para ahli, sangat presisi dan dapat dipercaya. Memang, hasil tes DNA, tidak bisa menetapkan nasab. Jika ada seorang anak, setelah di tes DNA, mempunyai darah dari ayah biologisnya, maka tidak serta merta, secara syar’I, ia dianggap bernasab kepada ayah biologisnya itu. Harus ada akad nikah yang sah untuk kesahihan nasab. Jika tidak ada akad nikah, walau terbukti berdarah dari ayah biologisnya, maka ia ditetapkan bukan anak dari ayahnya; ia tidak bisa mewaris harta ayahnya. Tetapi, jika dalam suatu kasus terjadi sebaliknya: ada anak yang sudah masyhur sebagai anak si fulan, lalu ada yang bersaksi bahwa anak itu bukan anak sifulan, kemudian dilakukan tes DNA, dan terbukti anak itu tidak memiliki darah ayahnya, maka jelas anak itu bukan anak ayah yang diakuinya. Seperti itulah hasil keputusan Muktamar NU ke 31 di Solo tahun 2004.

Maka, hanya kejernihan jiwa yang akan menyampaikan kita kepada sebuah kebenaran hakiki. Bukan perasaan. bukan doktrin. Kepasrahan dan rela akan setiap takdir Tuhan adalah ‘tambang emas” keikhlasan dan keselamatan.

Siapa yang membela kemuliaan Nabi Muhammad Saw, apakah ia yang membantu seseorang yang bukan dzuriah Nabi lalu mengaku sebagai dzuriyah Nabi, atau dia yang berusaha agar para pengaku dzuriah Nabi ini bertobat dari menisbahkan dirinya sebagai dzuriah Nabi?

Ada yang mengatakan, salah mencintai lebih baik daripada salah membenci. penulis katakan, lebih baik kita mencintai semua orang, itu lebih selamat. termasuk mencintai orang yang salah jalan. Cara mencintainya bukanlah kita dukung ia untuk terus berjalan di jalan yang salah, namun, kita tunjukan bahwa ia berada di jalan yang salah, lalu kita tunjukan jalan yang benar.

Wallahu a’lam bihaqiqatil hal.

Komentar