Oleh: Noorhalis Majid
“Burung pipit menimbulkan bahaya kelaparan, karena memakan habis padi, begitu padi masak, langsung diserbu burung pipit. Karena burung pipit tidak bisa terbang lebih dari empat jam terus-menerus, Mao Zedong memerintahkan rakyatnya yang berjumlah 600 juta itu serentak membunyikan kentongan bambu, menggoyang-goyang pohon, berteriak-teriak atau berbuat sesuatu untuk menghalau burung-burung itu selama jangka waktu tertentu dari pukul lima sampai pukul sembilan pagi. Pada pukul setengah sepuluh, semua binatang itu jatuh tak berdaya. Mereka ditangkap, digoreng dan disantap, dan persoalan teratasi”, begitu cerita Sukarno, dalam buku penyambung lidah rakyat Indonesia, tentang satu langkah sederhana yang pernah dilakukan Mao Zedong.
Cerita tersebut mengandung pesan, sekedar mengusir burung pipit yang menyengsarakan petani, kita harus bahu-membahu bergotong royong, dan dengan itu masalah yang sebelumnya begitu rumit, bisa diatasi hanya dalam waktu hitungan jam.
Apalagi soal-soal yang lebih besar. Soal pendidikan, kesehatan, lapangan pekerjaan, pemberdayaan ekonomi, kesejahteraan, dan lain sebagainya. Tanpa kebersamaan, bergotong royong, maka mustahil bisa diatasi.
Kalau demokrasi melahirkan kompetisi, maka mesti disadari, bahwa di atas demokrasi tersebut harus dibangun kebersamaan. Boleh saja partai berbeda-beda, pilihan capres tidak sama, namun di atas semua itu mesti ada tujuan bersama.
Kita mau apa dengan demokrasi ini? Itulah yang harus terus ditanyakan, harus terus didiskusikan dan bahkan diperdebatkan. Bila kurang debat, maka demokrasi mengerdil hanya menjadi prosedur.
Karena itu, yang mesti lebih sering diperbincangkan adalah tujuan bersama. Bukan hal-hal remeh yang memecah belah, memfitnah, mendiskriminasi. Sehingga yang nampak justru jurang pemisah, perbedaan yang semakin tajam. Padahal semua itu tidak menjawab persoalan bersama.
Sekedar mengusir burung pipit yang menyengsarakan petani, harus ada kebersamaan dan kerja sama. Apalagi membangun demokrasi. (nm)
Komentar