Kampanye Tanpa Baleho, Mungkinkah?

(Ambin Demokrasi)


PEMILU, PERANG BALEHO
Oleh: Noorhalis Majid

Ketika tinggal di Jepang, saya pernah ikut dua kali Pemilu, kata Akbar Rahman, akademisi yang lama tinggal di Jepang, pada  Forum Ambin Demokrasi (22/6). Suasana seperti apa yang paling berbeda antara Pemilu di Jepang dengan di daerah kita?, tanya audien yang hadir. 

Setidaknya ada dua hal yang paling berbeda, jawab Akbar Rahman. Pertama, peserta Pemilu di Jepang tidak mengeluarkan dana, semua disiapkan pemerintah. Mengeluarkan dana berlebihan, dianggap tidak lazim, tidak ada peserta pemilu yang melakukannya. Semua dana disiapkan pemerintah, termasuk dana kampanye.

Kampanye di sana sederhana. Caleg atau peserta Pemilu, datang ke perempatan jalan atau ke pusat keramaian, lalu memperkenal diri, menyampaikan visi, misi, program kerja. Dengan toa atau pengeras suara, caleg berpidato di tengah keramaian itu. 

Kedua, kampanye di Jepang tidak ada perang baleho. Hanya ada foto caleg dilengkapi profil, visi, misi dan isu-isu yang menjadi perhatian serta fokus kerja, dicetak pada kertas berukuran A3. Hanya ukuran A3, tidak boleh lebih dari itu, dan sama sekali tidak ada baleho yang memenuhi perempatan atau pertigaan jalan, kata Akbar Rahman menekankan soal alat peraga kampanye.

Lantas kenapa Pemilu di tempat kita tidak seperti itu? kenapa penyelenggara dan pemerintah tidak mengatur sedemikian rupa, agar baleho-baleho tidak merusak keindahan kota? 

Akibat tidak ada aturan, dengan alasan belum masa kampanye, sesuka hatilah memasang baleho. Perempatan dan pertigaan jalan, semraut  dengan baleho. Letaknya berlapis-lapis saling mengalahkan satu dengan lainnya.

Tidak bisakah Pemilu kita dibuat lebih sederhana, bersahaja dan cerdas? seperti di Jepang sebagaimana cerita Akbar Rahman? Tidak perlu baleho-baleho besar yang angkuh, cukup datang kepada pemilih dan berdialog, sampaikan hal-hal yang ingin diperbaiki dimasa depan. 

Bukankah substansi Pemilu itu perbaikan masa depan, bukan adu baleho?. (nm)

Komentar