WASPADA JANJI POLITIK, “KALU PINA DIWALUHINYA”

(Ambin Demokrasi)



Oleh: Noorhalis Majid

Tahun ini, tahun janji. Akan dijumpai banyak orang “bahampur janji”. Tentu boleh-boleh saja, karena sudah menjadi kodratnya politik dan janji itu dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Hanya saja, harus diingat, apakah yang bersangkutan Pemilu sebelumnya juga pernah menyampaikan janji yang sama dan sudahkah terealisasi.

Dikarenakan ingin menang, apapun yang diminta dijanjikan. Bikin jalan, jembatan, bangunan gendung, fasilitas ini dan itu. Perbaikan kualitas, penataan segala hal, pendek kata, semua dijanjikan. 

Kalau sudah berulang kali menyampaikan janji yang sama pada setiap Pemilu, sebab kontestan tetap, tentu sudah piawai mengumbar janji. Sudah mengerti bagaimana memainkan emosi pemilih, bahkan janji palsu terasa asli. Padahal sebagian besar tidak terbukti, yang seperti ini juga bisa dianggap “diwaluhinya”. 

Selain melihat janji sebelumnya, ada baiknya juga mempelajari jejak rekam yang menyampaikan janji. Bila jejak rekamnya kurang baik, alamat janji palsu, paling hanya “diwaluhinya”.

Ada apa dengan waluh? Waluh (labu) pasti enak. Bukan hanya enak dijadikan sayur, juga dibikin kue. Ada pais waluh, kolak waluh, lempeng waluh, bingka dan roti pisang waluh, dan sebagainya. Waluh, makanan kesukaan orang Banjar. Hampir semua anak balita Banjar, ketika awal belajar makan, disuguhkan nasi yang dipenyet dengan waluh, rasanya enak sekali.

Ketika janji manis disampaikan, dan sebenarnya bohong, orang Banjar menyebutnya “diwaluhinya”. Karena janji yang nyaman, menghibur hati, mungkin setara kenyamanannya dengan waluh, dan ketika tidak berbuah kebohongan, menjadi diwaluhinya. 

Bohong dalam kontek ini masih dianggap menyenangkan, bahkan menghibur. Sebab sudah tahu bahwa segala yang disampaikan itu, tidak mudah merealisasikannya. Sama seperti janji politik, mewujudkannya perlu proses, perlu penselarasan aturan, ketentuan dan kewenangan, maka jangan terlalu percaya janji politik, kalu pina diwaluhinya. (nm)

Komentar