KAMIRAWAAN, PEMILU BERBIAYA MAHAL



(Ambin Demokrasi)
Oleh: Noorhalis Majid

Banyak yang enggan, bahkan takut ikut Pemilu, sebab ngeri, “kalu pina kamirawaan” – habis tertawa terbahak-bahak, seketika menangis, sebab membayangkan biaya yang harus ditanggung. Apalagi bila membuka telinga lebar-lebar, mendengarkan caleg dan calon kepala daerah yang ingin terjun dalam kompetisi Pilkada, biayanya begitu mahal. 

Bahkan saat sidang MK (12/4/2023), Profesor Hafid Abbas dari Fisip UGM, menyampaikan bahwa selama 4 kali penyelenggaraan Pemilu dengan sistem proporsional terbuka, merujuk pada hasil penelitian Tempo, menunjukkan biaya calon anggota DPR RI mencapai Rp6 miliar (Tempo, 22/4/2013). 

Begitu juga dengan apa yang pernah diungkapkan KPK, biaya yang harus dikeluarkan seseorang agar terpilih menjadi kepala daerah (bupati, walikota atau gubernur) bervariasi antara Rp20-100 miliar, atau rata-rata Rp60 miliar. 

Pemilu yang seperti ini, hanya akan menjaring orang-orang berduit, dan akhirnya cuma yang memiliki duit, yang akan mendominasi kursi legislatif dan eksekutif. 

Pertanyaan sederhana, setelah terpilih apa yang dilakukan? Rasanya mustahil mengabdi untuk memajukan dan memikirkan kesejahteraan rakyat, karena sudah tersandera untuk mengembalikan biaya politik yang begitu mewah. 

Akhirnya, bagi kepala daerah, cara mudah mengembalikan biaya tersebut, dengan merangkul korporasi, memberikan hak penguasaan lahan tambang, perkebunan besar, dan eksploitasi sumber daya alam lainnya. Tidak peduli soal rusaknya lingkungan, atau soal banjir yang melanda semua orang tanpa kecuali. 

Kalau pemilih mengambil jalan pintas, bersikap pragmatis dan tidak mau peduli, yang penting sekarang dapat duit, dan lebih memilih yang memberi duit, jangan mengeluh kalau nanti “kamirawaan” menanggung derita banjir, sebab sudah dibayar lunas ketika menerima money politik senilai Rp100 ribu, atau Rp200 ribu. (nm)

Komentar