SDA Kaya Namun Minim Pembangunannya


Tambang. (voa)



MANTAN Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, Laode M Syarif menilai pembagian nilai ekonomi sumber daya alam (SDA) di berbagai daerah tidak adil. Melalui akun Twitter pribadinya, ia mencatat enam wilayah yang masih minim pembangunan ekonominya meski memiliki kekayaan sumber daya alam yang melimpah. 

"Pembagian nilai ekonomi SDA sekarang tidak adil bagi penghasil SDA, karena mereka menerima dampak lingkungan, sedang nilai ekonominya sedikit yang mereka dapatkan. Mas @prastow dan @KemenkeuRI harus menciptakan pembagian yang lebih adil," ucapnya pada akun Staf Khusus Menteri Keuangan Yustinus Prastowo dan akun Kementerian Keuangan, dikutip Ahad, 18 Desember 2022. 

Wilayah pertama yang menjadi sorotan Laode adalah Buton, Sulawesi Tenggara. Menurut dia, Buton pernah menjadi satu-satunya penghasil aspal. Namun saat dia masih duduk di bangku sekolah dasar (SD), hampir semua jalan di luar kota Bau-Bau di Pulau Buton tidak ada aspalnya. Sedangkan aspal asal Buton hanya dipakai di kota-kota besar. 

"Aspal Buton mati suri, jalan Pulau Buton sedikit yang beraspal mulus," tuturnya.

Kemudian Laode menyoroti kondisi di Sorong, Papua Barat. Ia menuturkan Sorong memiliki tambang minyak sejak dulu, tetapi harga minyak di sana sangat mahal. Minyak asal Sorong, ucapnya, dipakai untuk kendaraan orang-orang 'hebat' di kota besar. Kendati pemerintah telah melakukan pemerataan harga minyak, menurutnya harga di Sorong tetap lebih mahal dibandingkan kota-kota besar lainnya.

Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan juga dinilai memiliki kondisi serupa. Wilayah ini memiliki banyak tambang nikel sejak dulu, tetapi penikmat keuntungannya bukan masyarakat asal nikel itu dihasilkan.  "Tapi kerusakan lingkungannya, diderita oleh orang Sulawesi," kata Laode. 

Situasi yang sama juga terjadi di Kalimantan. Laode menilai banyak tambang batu bara di Kalimantan yang juga dipakai oleh PLN untuk menerangi kota-kota besar. Sementara di Kalimantan sendiri, hingga kini listrik masih sering mati-hidup. Dia berujar lubang tambang yang menganga, banjir, hingga kerusakan sungai diderita oleh orang Kalimantan. Sedangkan hasil kekayaan SDA Kalimantan lebih banyak dinikmati oleh orang di luar pulau itu.

Begitu pun di Sumatera, khususnya di Kepulauan Riau. Wilayah itu memiliki banyak minyak dan gas, tetapi tidak diketahui berapa barel minyak atau gas yang diambil dari wilayah mereka. 

Musababnya, jumlah tersebut hanya diketahui Pemerintah Pusat. "KPK usulkan (Pemerintah) Provinsi harus tau, agar tau hak mereka. Dampak lingkungan mereka derita tapi nilai ekonomi hanya sedikit," ujar Laode. 

Lebih jauh, Laode menjelaskan mineral, minyak, dan gas adalah sumber daya non renewable resources. Artinya, kekayaan alam itu akan habis. Sayangnya, masyarakat daerah dinilai belum banyak menikmati hasilnya. Karena itu dia mendesak Kementerian Keuangan agar memberikan dana bagi hasil (DBH) yang adil bagi daerah penghasil. "Karena SDA akan habis tapi mereka tetap miskin," tuturnya.

Sebelumnya, Yustinus mengakui fakta bahwa otonomi daerah membutuhkan penguatan menjadi kegelisahan pemerintah pusat. Karena itu, Salah satu strategi yang dilakukan Kementerian Keuangan adalah membuat kebijakan fiskal yang berpihak pada penurunan ketimpangan atau kemiskinan. Selain itu, juga penguatan kapasitas daerah melalui harmonisasi belanja yang efektif. Alhasil, lahirlah Undang-undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (HKPD). 

Yustinus menjelaskan DBH adalah bagian dari dana transfer ke daerah (TKD) yang dialokasikan berdasarkan persentase atas pendapatan tertentu dalam anggaran penerimaan dan belanja negara (APBN) serta kinerja tertentu. Dana itu dibagikan kepada pemerintah daerah penghasil dengan tujuan mengurangi ketimpangan fiskal antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. 

Konsep baru DBH dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang HKPD juga memberikan dana kepada pemerintah daerah lain yang bukan penghasil sumber daya alam dalam rangka menanggulangi eksternalitas negatif dan/atau meningkatkan pemerataan dalam satu wilayah. 

TKD sendiri adalah dana yang bersumber dari APBN dan merupakan bagian dari belanja negara. Dana itu dialokasikan dan disalurkan kepada pemerintah daerah untuk dikelola dalam rangka mendanai penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah. 

"Jadi paradigmanya Indonesia-sentris. Tumbuh bahagia bersama, tidak egois," kata Yustinus, Kamis, 15 Desember 2022. (tempo/ap)


Komentar