Soal Kebangkrutan Sri Langka, AS Mohon ke China

 


AMERIKA Serikat (AS) meminta agar China mau dengan kooperatif menyelesaikan restrukturisasi utang milik Sri Lanka terhadap negara itu. Hal ini untuk segera melepaskan Colombo dari krisis ekonomi yang telah melanda.


Dalam sebuah kunjungan ke Sri Lanka, Kepala Economy Next United States Agency for International Development (USAID) Samantha Power menyatakan kerja sama ini perlu diimplementasikan agar Sri Lanka dapat bebas dari krisis. Namun, ia juga tetap meminta agar Sri Lanka harus lebih bertanggung jawab saat meminjam dari negara lain.

"China harus bekerja sama dengan restrukturisasi utang Sri Lanka, sementara negara harus terlibat dalam pinjaman yang bertanggung jawab di masa depan," paparnya dikutip media India, The Print, Selasa (13/9/2022).

"Sangat penting bahwa semua kreditur Sri Lanka, terutama China, bekerja sama dalam proses ini secara terbuka dan dengan persyaratan yang sebanding satu sama lain. Ketika utang menjadi tidak berkelanjutan seperti yang terjadi di Sri Lanka, taruhan kerja sama itu dapat berarti perbedaan antara hidup atau mati atau kemakmuran atau kemiskinan."

"Ketika Sri Lanka berusaha keluar dari krisis ekonomi ini, AS sebagai kreditur dan anggota klub Paris siap untuk berpartisipasi dalam restrukturisasi utang Sri Lanka," tambahnya.

Sri Lanka sendiri mengalami krisis setelah negara itu kehabisan devisa untuk melakukan impor dari negara lain. Diketahui, negara pulau yang terletak di Samudera Hindia itu mengimpor banyak kebutuhan esensial seperti pangan, bahan bakar, dan obat-obatan.

Salah satu penyebab habisnya devisa negara itu adalah pembayaran utang ke China. The Diplomat mencatat bahwa pada tahun ini Negeri Ceylon itu berutang US$ 7 miliar atau Rp104 triliun pada Beijing.

Sri Lanka juga tidak begitu lancar dalam membayar utangnya kepada Beijing. Negara itu bahkan sempat memberi China Merchants Ports Holdings hak sewa 99 tahun di Pelabuhan Hambantota karena tak mampu membayar utang pembangunan pelabuhan itu yang mencapai US$ 1,5 miliar atau sekitar Rp21 triliun. (cnbcindonesia)

Komentar