HAMPIR semua ibu-ibu di Martapura mungkin kenal dengan pria difabel bersahaja ini. Meski cacat sejak lahir dan yatim piatu, namun Amat Syahrani (40), tetap semangat menjalani hidupnya.
Ia tak mau meminta-minta, meski kondisinya kekurangan. Ia mengaku malu untuk mengemis, sehingga ia tetap mengayuh sepeda khususnya yang sekaligus tempat dagangannya, berupa berbagai pisang atau tahu.
Beberapa hari lalu, suatu Minggu, entah bagaimana, saya singgah di sebuah warung kopi kawasan Sekumpul. Ketika asyik duduk sambil menyeruput secangkir kopi hangat, tiba-tiba Amat juga singgah.
Oh rupanya memang sudah tengah hari, mungkin ia singgah untuk sekadar mengisi perut. Benar saja, Amat dengan agak susah turun dari sepedanya dan kemudian kepada pemilik kedai memesan nasi bungkus.
Ia juga memesan kopi sama seperti saya. Pria yang tinggal di Jl Irigasi Gg Permata, Tanjung Rema Martapura ini sejurus kemudian meminta tolong membukakan nasi bungkusnya. Karena paman kedai agak sibuk, maka saya tawarkan membantu. Saya bukakan nasi bungkusnya sekalian ambilkan sendok. Ia mengucapkan terima kasih.
"Ulun kenal sama bini pian," ujarnya. Ya, karena memang istri saya memang kerap membeli dagangannya. Kami pun berbincang ringan, sambil merokok. Wah, rupanya ia bisa juga mengepulkan asap rokok yang sengaja saya sodorkan.
Saya masih menunggu apa maksud Allah SWT memperjumpakan saya dengan Amat. Amat karena cacat, ia kesulitan bicara, dan sejumlah otot tangan, kaki dan tulang belakangnya seakan tidak sinkron sehingga mempersulitnya untuk bergerak normal, sekadar untuk memegang sendok atau memegang sebilah rokok.
Pria dewasa yang jiwanya cenderung masih remaja ini saya anggap penuh kepolosan, dan jujur. Masih ada keoptimisan dalam kalbunya untuk suatu masa pergi ke tanah suci menunaikan ibadah haji, sekaligus ke makam Rasulullah SAW.
Ia dari usahanya yang kadang laku dan kadang juga kurang laku, menabung demi mewujudkan cita-cita mulianya itu. Kerinduannya makin menjadi ke tanah suci itu rupanya dilatarbelakangi bahwa di dalam mimpinya 3 tahun lalu, ia dijumpai Baginda Nabi Besar Muhammad SAW.
"Sidin bungas, memakai pakaian serba putih. Bolangnya juga bagus dan putih. Sidin menasihati agar ulun sabar (menjalani hidup). Amat, sabar, sabar, sabar," ujar Amat mengisahkan sekaligus menirukan nasihat Baginda.
"Doakan ulun lah supaya bisa naik haji," pintanya kepada saya. Saya pun mengaminkan, dan juga minta ia doakan.
Ia lalu minta saya menganggap dirinya sebagai saudara. Saya mengiyakan. Tak terasa, air mata saya menetes terharu dengan pengalaman ruhani Amat yang menurut saya luar biasa. Padahal, banyak diluar sana, orang ahli ibadah, alim, para pejabat, bahkan orang kaya juga mengimpikan perjumpaan dengan Rasulullah meskipun hanya di dalam mimpi. Tetapi dalam banyak tulisan para sufi, tak semuanya bisa dianugrahi Allah demikian. Bahkan, pengalaman ruhani itu termasuk sedikit yang mengalaminya.
Paman kedai yang rupanya ada menguping perbincangan kami, lantas duduk merapat. Amat hanya mengatakan bahwa dirinya bukan orang alim (berilmu), karena ia cuma memiliki amal tak mengeluh. "Jangan mengeluh," ujarnya dengan mulut yang agak sulit melafazkannya. Seakan menambahkan, kita mesti tulus ikhlas menjalani hidup yang sudah Allah gariskan.
Saya menatap lekat wajah bersahaja di depan saya, dan semakin yakin, Amat bukan hamba Tuhan yang sembarangan. Meski difabel, penampilan ala kadarnya, topi pet terbalik, celana kumal dengan tas selempang yang ia sendiri susah payah untuk sekadar membuka resletingnya.
Sebelum berpisah, saya membeli sesisir pisang, dan memohon agar uang kelebihannya tak usah dikembalikan. Saya memberi hadiah yang masih tak seberapa nilainya ketimbang ungkapan hikmah yang terlontar dari bibirnya yang masih berlepotan nasi.
Hehe...Amat engkau memang bersahaja tapi luar biasa. "Bila ulun naik haji, pian ikut juga ya," pintanya. Aamiin ya Robb jawabku.
Komentar