Rusia Diundang, Barat Bakal Ngambek Tak Datang?




INDONESIA memutuskan mengundang seluruh negara anggota G20, termasuk Rusia. Keputusan itu membuat sejumlah negara Barat keberatan.
Sejumlah negara pun ancam bakal ngambek jika Rusia masih diajak ke G20. Di sisi lain, Indonesia mengambil sikap itu atas dasar prinsip-prinsip kenetralan sebagai negara non-blok.

Keputusan Indonesia itu muncul tak lama usai Duta Besar Rusia di Jakarta, Lyudmilla Vorobyova, mengatakan Presiden Rusia Vladimir Putin akan hadir dalam forum internasional itu.

Pengamat Hubungan Internasional dari Universitas Indonesia, Hariyadi Wiarayawan, mengatakan RI tetap menerapkan bebas aktif sebagai sikap politik internasional.

"Kita ikut dalam resolusi PBB mengecam penggunaan kekerasan. Tapi di sisi lain kita tidak menghendaki upaya yang serius untuk menggeser kekuatan kelompok bertikai untuk mengikuti apa yang dikehendaki kelompok lain. Itu upaya kita mengerjakan politik internasional," kata Hariyadi dalam diskusi yang digelar di Cikini, Jakarta Pusat, Selasa (5/5).

Namun, ia mengakui posisi Indonesia dalam menjalankan keketuaan G20 menghadapi situasi yang sulit di tengah kecamuk perang di Eropa timur. Keputusan mengajak atau tak mengajak Rusia sama-sama bisa menyulitkan Indonesia.

Jika Indonesia tak merasa sanggup menjalankan presidensi ini, ada sejumlah hal yang bisa dilakukan.

Hariyadi menjelaskan, RI bisa saja menyerahkan presidensi G20 ke India sebagai ketua selanjutnya dan tetap menjalankan forum tersebut meski delegasi AS yang hadir hanya level Duta Besar.

Indonesia harus bisa mengakomodasi aspirasi kepentingan para pihak dalam pertemuan puncak G20, bukan hanya Amerika dan Rusia. Namun, ada negara lain yang punya kepentingan di forum tersebut, demikian menurut anggota DPR Komisi I, Rizki Natakusumah.

Pemerintah, lanjut Riski, harus bisa menyelenggarakan forum ini dengan hati-hati, mengatur agenda secara positif dan meyakinkan negara sahabat banyak isu lain yang dibicarakan selain perang.

"Itu yang saya sayangkan belum terlihat berhasil dari pemerintah Indonesia sebagai host (tuan rumah) G20," ujar Rizki.

Ia kemudian menyentil Kementerian Luar Negeri yang seharusnya bisa lebih proaktif dalam menyuarakan pesan-pesan perdamaian dan menggencarkan diplomasi.

Kekesalan Barat, menurutnya, tak akan terjadi jika ada iktikad baik dari pemerintah selaku tuan rumah terhadap pihak-pihak yang bersengketa.

"Saya harap Kementerian Luar Negeri, pemerintah Indonesia bisa lebih proaktif lagi dalam berdiplomasi menyampaikan pesan itikad baik bahwa ini serius enggak (menyelesaikan masalah di Ukraina)," ucap Riski.

Senada dengan Hariyadi, pengamat dari Universitas Islam Negeri Jakarta, Achmad Ubaedillah, mengatakan RI harus menyatakan diri sebagai negara yang tidak bisa didikte karena punya prinsip.

"Sebagai negara non-blok, RI tetap menjadikan presidensinya di G20 untuk berusaha melakukan upaya-upaya mediasi menuju perdamaian antara Rusia dan Ukraina," kata Ubaedillah saat dihubungi CNNIndonesia.com, Selasa (5/4).

Namun demikian, RI juga harus bisa meyakinkan AS bahwa pihaknya bisa menginisiasi perdamaian sebagai penengah.

"Toh AS pun menginginkan penghentian perang, artinya tak ada alasan AS dkk tidak mendukung upaya RI dalam forum G20 nanti, sebagai agenda tambahan yang penting, selain agenda economy recovery," ucap dia. (cnnindonesia)

Komentar