Polda Kalsel Digugat Rp2 Triliun

Boyamin dalam temu pers



TAPIN -  Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) mewakili warga melayangkan gugatan praperadilan terhadap tindakan Polda Kalsel mem-policeline-kan  jalan hauling (underpass) Tatakan Km 101, Kabupaten Tapin, Kalimantan Selatan.

Gugatan MAKI diajukan bersama asosiasi hauling dan asosiasi tongkang tersebut telah didaftarkan di Pengadilan Negeri Banjarmasin pada tanggal 28 Desember 2021.
 
 “Penyitaan dengan memberikan garis polisi (police line) pada jalan hauling dibawah Underpass Tatakan Km 101 Tapin tidak beralasan hukum. Tidak ada izin ketua pengadilan negeri setempat. Kegiatan penyitaan itu dilakukan tanpa memberikan lampiran atau salinan apapun kepada pihak-pihak yang berkepentingan,  termasuk berita acara penyitaan hingga permohonan ini diajukan dan didaftarkan ke Pengadilan Negeri Banjarmasin,” jelas H Boyamin Saiman, Koordinator MAKI dalam konferensi pers di Banjarmasin, Selasa (28/12).
 
Pemohon mewakili asosiasi diantaranya adalah Muhammad Sapi’i, Mahyudin, Novarein, Setyawan Budiarto, Fadhor Rahman, Moh Irfan Sudibyo SE, Abdurrahman dan Kartoyo. Kedua asosiasi tersebut memiliki ribuan anggota yaitu sopir hauling dan pekerja tongkang yang kini menganggur sejak Polda Kalsel memasang police line pada 27 November 2021 lalu. 
 
Sementara pihak termohon dari gugatan praperadilan ini adalah  Direktur Reserse Kriminal Umum Kepolisian Daerah Kalimantan Selatan.
 
 “Di tengah pandemi yang telah menyengsarakan rakyat seperti saat ini, tindakan Polda Kalsel melakukan penyitaan dan police line menjadikan gerak ekonomi masyarakat lokal terhenti. Tindakan ini juga bertentangan dengan upaya Presiden Jokowi untuk mendorong percepatan pemulihan ekonomi melalui jaminan kepastian investasi di seluruh Indonesia. Praperadilan ini adalah perjuangan rakyat untuk mendukung pemulihan ekonomi seperti dikampanyekan Presiden Jokowi,” tegas Boyamin. 
 
 Memperkuat gugatannya, MAKI memiliki sejumlah alasan bahwa penyitaan dan tindakan police line Polda Kalsel di jalan hauling underpas Km 101 Tapin  tidak sah serta telah menciptakan ketidakpastian hukum.  
 
Pertama, tindakan termohon menghalangi segala kegunaan fungsi jalan hauling menjadikan fasilitas jalan hauling tidak dapat digunakan secara umum sesuai perizinan bangunan jalan hauling sebagaimana ketentuan hukum yang berlaku.
 
Kedua, tindakan termohon tidak sah dikarenakan pemanfaatan jalan hauling aquo telah berdasar hukum yaitu adanya perjanjian di antara pihak-pihak perusahaan yang memanfaatkan jalan hauling tersebut dan belum adanya pembatalan berdasar putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
 
Ketiga, tindakan termohon tanpa memberikan keterangan lain serta tanpa adanya laporan kepada pengadilan negeri setempat. Tindakan termohon sangat tidak mempunyai dasar, dan pihak pemohon menilai tindakan termohon  sudah masuk dalam ranah ilegal dan melanggar hukum.
 
Keempat, terdapat kerancuan dan mengada-ada dari tindakan termohon  sebagaimana indikasi pelanggaran pasal 33 dan pasal 38 KUHAP tentang penggeledahan dan penyitaan. 

Disini Termohon  melakukan tindakan paksa secara arogan, tanpa hak, melakukan kewenangannya atas tidak adanya penyidikan suatu delik tindak pidana berdasar  surat perintah penyidikan.
 
Menurut Boyamin, makna penyitaan sesuai KUHAP, bahwa setiap tindakan upaya paksa, adalah merupakan obyek praperadilan. Tindakan penyitaan secara substantif juga merupakan yuridiksi obyek praperadilan. Ia menambahkan bahwa tindakan pemberian garis pembatas dan atau penyegelan adalah termasuk penyitaan, yang apabila tidak terdapat izin ketua pengadilan negeri setempat maka dinyatakan sebagai penyitaan tidak sah. 
 
“Penyitaan yang dilakukan oleh termohon  bertentangan dengan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2009  tentang Pengawasan dan Pengendalian manajemen Penanganan Perkara Pidana di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia  dengan segala perubahannya terakhir Perkap Nomor 16 tahun 2019  tentang Penyidikan Tindak Pidana,” tambah Boyamin.
 
Lebih jauh Boyamin mengungkapkan bahwa dalam proses penyitaaan jalan hauling Km 101 Tapin tidak melibatkan dan disaksikan lurah setempat. Hal ini merupakan prosedur wajib penyidikan oleh kepolisian dalam melaksanakan kewenangannya. Dampak lebih besar dari penyitaan dan police line yang dilakukan oleh Polda Kalsel adalah berhentinya usaha para pemohon. Nilai kerugian meteriil yang dialami pemohon sejak jalan hauling Km 101 mencapai sekitar Rp1 triliun rupiah.
 
“Selain itu para pemohon juga mengalami berbagai tekanan sejak usahanya berhenti. Karena itu dalam gugatan praperadilan ini kami juga mengajukan gugatan ganti rugi immateriil Rp1 triliun. Total gugatan materiil dan immateriil sebesar Rp2 triliun. Semoga majelis hakim mendukung perjuangan ribuan pekerja yang terzolimi ini,” ungkap Boyamin.

Komentar