Fardhu Kifayah Penyelenggaraan Sungai (Fardhu Kifayah Restorasi Fungsi Sungai)



Oleh: Rakhmat Nopliardy
(Cendikiawan Pemerhati Lingkungan)

KEHIDUPAN mahluk tidak akan pernah jauh dari air,  air merupakan salah satu unsur yang tidak bisa ditinggalkan begitu saja di alam semesta ini termasuk di Bumi. Bukan hanya tumbuhan, hewan hingga manusia, semua elemen yang hidup di muka bumi ini  air merupakan bagian dari kehidupan yang tak terpisahkan. Begitu pentingnya Air, sehingga Allah SWT memberikan petunjuk dalam  sekitar 42 Surah dan 66 ayat. Hal ini sebagai Isyarat yang serius bagi manusia dari Allah SWT.

Al Anbiyaa’ Ayat 30

أَوَلَمْ يَرَ الَّذِينَ كَفَرُوا أَنَّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ كَانَتَا رَتْقًا فَفَتَقْنَاهُمَا ۖ وَجَعَلْنَا مِنَ الْمَاءِ كُلَّ شَيْءٍ حَيٍّ ۖ أَفَلَا يُؤْمِنُونَ

Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman?


Al Hajj Ayat 63

أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللَّهَ أَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَتُصْبِحُ الْأَرْضُ مُخْضَرَّةً ۗ إِنَّ اللَّهَ لَطِيفٌ خَبِيرٌ

Apakah kamu tiada melihat, bahwasanya Allah menurunkan air dari langit, lalu jadilah bumi itu hijau? Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui.

11. Al Mu’minuun Ayat 18

وَأَنْذِرْهُمْ يَوْمَ الْآزِفَةِ إِذِ الْقُلُوبُ لَدَى الْحَنَاجِرِ كَاظِمِينَ ۚ مَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ حَمِيمٍ وَلَا شَفِيعٍ يُطَاعُ

Dan Kami turunkan air dari langit menurut suatu ukuran; lalu Kami jadikan air itu menetap di bumi, dan sesungguhnya Kami benar-benar berkuasa menghilangkannya.

Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

وَاَ لْقٰى فِى الْاَ رْضِ رَوَا سِيَ اَنْ تَمِيْدَ بِكُمْ وَاَ نْهٰرًا وَّسُبُلًا لَّعَلَّكُمْ تَهْتَدُوْنَ 
wa alqoo fil-ardhi rowaasiya ang tamiida bikum wa an-haarow wa subulal la'allakum tahtaduun

"Dan Dia menancapkan gunung di bumi agar bumi itu tidak goncang bersama kamu, (dan Dia menciptakan) sungai-sungai dan jalan-jalan agar kamu mendapat petunjuk,"
(QS. An-Nahl 16: Ayat 15)


Nabi SAW pernah memberikan perumpamaan sungai sebagai suatu agen pembersihan. Abu Hurairah RA meriwayatkan Rasulullah SAW bersabda: "Bagaimana pendapat kalian, sekiranya ada sungai berada dekat pintu salah seorang antara kalian, digunakan untuk mandi lima kali dalam sehari, mungkinkah kotorannya masih tersisa?" Sahabat RA menjawab: "Kotorannya tidak akan tersisa." Baginda bersabda: "Itulah perumpamaan shalat lima waktu, yang dengannya Allah akan menghapus kesalahan." (Hadis riwayat Muslim)

Rasulullah SAW secara tidak langsung, mendeskeipsikan tentang sungai antara sumber air dimaknai sebagai agen pembersihan. Lebih jauh daripada itu, sungai perlu dipelihara kesuciannya seperti bumi menerima air hujan yang tidak terkandung padanya kotoran.

Sungai juga menjadi habitat bagi banyak makhluk yang memainkan peranan penting dalam pelestarian dan pengembangan kehidupan, pemeliharaan sungai sebagai wujud ketundukkan makhluk bernama manusia kepada Tuhan. Ia tidak dapat mengabaikannya, kecuali dengan mengkhianati kepercayaan yang diberikan kepadanya, yang berakibat secara nyata.

Sebagaimana di gambarkan dalam Surat Ar Rum ayat 41. "Telah nampak kerusakan di darat dan di laut akibat perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)."

Dalam hukum Islam klasik, pembahasan tentang air pada umumnya hanya dalam perspektif  alat  bersuci.  Air hanya dianggap  sebagai  instrument  ṭaharah  dari  hadaṡ  dan  najis.  Oleh sebab itu ketika kita mempelajari Air dan sungai dalam perspektif Islam dalam  kitab-kitab  fikih  klasik  akan mendapatkan sedikit kesulitan, sehingga diduga banyak masyarakat kita menyalahgunakan pemanfaatan air dan sungai untuk kepentingan dirinya sendiri.
Karena Petunjuk ibadah pemeliharaan dan perlindungan air (konservasi dan restorasi)  belum banyak terungkap secara memadai selain kemampuan masyarakat dalam menggali informasi yang masih sederhana.

Pembahasan tentang konservasi dan restorasi air baru  tampak  pembahasannya  dalam kitab-kitab fikih kontemporer. Dengan  mengingat posisi dan fungsi air  yang sangat penting dalam kehidupan,   Fikih sebagai rumusan “kepastian hukum” yang berdimensi logis dan  religius kiranya  dapat menjadi acuan  prilaku bukan hanya setiap  muslim tetapi seluruh manusia,  khususnya  tentang  tata hubungan manusia dengan air.


Tidak ada kata terlambat dalam mengembalikan melalui restorasi fungsi sungai sebagaimana petunjuk Allah dalam Al Qur'an, zona Sungai dan bantarannya untuk keberkahan hidup bagi semua makhluk menjadi tugas kewajiban (Fardhu Kifayah) bagi  manusia yang berakal sehat.

Ibnu Qudamah (541-620 Hijriyah), salah seorang fuqaha Hanbali (Mazhab Hanbali) mengatakan bahwa setiap sungai harus memiliki zona bebas untuk kepentingan pemanfaatannya dan tidak boleh dimiliki oleh siapa pun.  Kemudian, Qalyubi, ketika berbicara tentang i‘tikaf, menegaskan tidak sah bila dilaksanakan di masjid yang dibangun di bantaran sungai.

Kemudian, Sulaiman ibn Umar ibn Muhammad al-Bujairmi menegaskan pula bahwa kawasan bantaran sungai, demi kepentingan konservasinya, tidak boleh didirikan bangunan, sekalipun masjid; setiap bangunan di atasnya harus dibongkar. Penggusuran terhadap semua bangunan yang ada di bantaran sungai, menurut al-Haitami adalah hasil kesepakatan empat mazhab.

Sebagai konsekuensi dari ajaran ḥarīm dalam rangka menjaga kebersihan sumber air,  maka diharamkan  mendirikan bangunan pemukiman di sepanjang sepadan  sungai  dan  di  dekat  sumber air karena akan dapat  menyebabkan pengotoran terhadap air tersebut, terutama akibat limbah  rumah  tangga dan manusia.

Meski pembangunan pemukiman akan mendatangkan manfaat bagi masyarakat penghuninya, tetapi  kemanfaatan itu  dapat saja tidak sebanding dengan  mudarat yang akan ditimbulkannya.

Dalam  kaidah  fikih, kemudaratan  harus  dihilangkan  lebih dulu dari menarik kemanfaatan. As-Suyūṭī  telah  menuliskan beberapa  kaidah  fikih  tersebut yang  antara lain:  aḍ-ḍararu  yuzālu (kemudaratan harus dihilangkan),  aḍḍararu  lā  yuzālu  bi  aḍ-ḍarari  (kemudaratan tidak dihilangkan dengan kemudaratan), aḍ-ḍararu  yuzālu  biqadr  al-imkān (kemudaratan  dihilangkan  sedapat mungkin).

Kemudian, iża  ta’āraḍa mafsadatāni ru’iya a’ẓamuhuma  ḍararan  bi  irtikāb  akhaffihima (apabila  ditemukan dua kemudaratan, maka diambil kemudaratan yang terkecil dampaknya),  dan  dar’  almafāsid  muqaddam  ‘alā  jalb  al-maṣālih (menolak  kemudaratan  didahulukan atas mengambil manfaat.

Kesimpulan, kita tidak dapat menghindar dari kenyataan apalagi yang akan ditunjukkan akibat kerusakan fungsi sungai,  semua sudah kita rasakan, pemanasan global sudah mendunia, banjir sudah sama-sama kita rasakan dimana-mana. Bersatu padu (bahasa Banjar padu adalah ruang dapur dalam suatu bangunan masyarakat Banjar yang pada umumnya selalu letaknya dibagian paling belakang) pada zona sungai, semakin nyata kita saksikan, sehingga ruang permukaan sungai mengecil.

Begitu pentingnya sungai bagi kehidupan makhluk tentu kita harus memahami dengan sistem berpikir yang holistik dalam memperteguh keimanan Islam yang rahmatan Al-Amin. Sesuatu hal yang mustahil apabila sistem berpikir kita dalam melakukan restorasi sungai hanya berfikir secara sektoral dan fragmatisme.
Melakukan Restorasi sungai harus dilakukan bersama-sama (fardhu kifayah), bukan hanya dilakukan oleh manusia yang tinggal dan berada di Zona Sungai dan bantaran sungai, bagi yang berada jauh dari daerah aliran sungai (DAS) juga memiliki tanggungjawab karena setiap hari dalam kehidupannya tidak terlepas dari penggunaan air rumah tangga yang pada akhirnya akan mengalir ke zona sungai, bahkan tidak menutup kemungkinan akan mengirimkan unsur-unsur kerusakan dalam sistem fungsi sungai.

Kinilah saatnya kita harus memiliki tanggungjawab bersama memulai perubahan (tajdid) secara bersama-sama bahu membahu dalam melakukan restorasi sungai  agar kembali fitrah untuk keberkahan semua makhluk. (***)
 

Komentar

Jarkawi mengatakan…
Air dalam kajian prespektif kebutuhan hidup dengan berlandaskan nilai teologis, perlu dikembangkan lagi berlandaskan nilai nilai lainnya yakni teleologis, agar prilaku manusia dalam memberdyakan dan mengembangkan air yang mengalir pada sungai lebih optimal mampaatnya untuk rahmatan lil alamin.