Tambang dan Sawit Jadi Faktor Banjir Besar



MARTAPURA - Berkurangnya hutan primer dan sekunder di Kalsel sebagai dampak dari alih fungsi lahan menjadi lahan pertambangan batubara dan perkebunan kelapa sawit, dianggap menjadi salah satu faktor terjadinya banjir besar di Kalsel.

Hal itu ditegaskan Edo Rakhman, tim kampanye Walhi dalam wawancara dengan Najwa Shihab di salah satu TV nasional, Rabu (20/1/2021). Menurutnya, kondisi banjir besar di Kalsel tak sekadar karena curah hujan yang tinggi, melainkan karena daya dukung lahan yang kurang mampu menyerap air, sebab sebagian lahan sudah menjadi pertambangan batubara dan juga perkebunan sawit.

"Dari 3,7 juta hektar lahan di Kalsel, separuhnya, yakni 1,2 juta hektar dikuasai pertambangan dan 620 ribu hektar menjadi perkebunan sawit," ujar Edo. Hutan primer hanya berkisar 581.188 hektar sementara hutan sekunder cuma 89.169 hektar. 

Mengenai kondisi lahan yang sudah berkurang daya serapnya itu memprihatinkan bagi Denny Indrayana. Denny yang merupakan calon gubernur menyebutkan bahwa dirinya sama sekali bukan figur yang anti investasi, namun, investasi pertambangan maupun perkebunan sawit harus juga memperhatikan lingkungan. Jangan sampai perizinan yang dikeluarkan justru mengurangi fungsi lahan dan hutan yang bisa menyerap air di kala musim penghujan.

"Ada 814 lubang tambang dari sekitar 157 perusahaan tambang dan ini sudah pasti harus direklamasi. Jika memang perlu adalah penegakan hukum bagi yang tidak patuh," ungkapnya.

Kajari Banjar Hartadhi Christianto SH MH juga mengatakan bahwa perlu kesadaran semua pihak agar eks galian tambang direklamasi dan dihijaukan lagi, guna mengembalikan fungsi lahan yang bisa menyerap air sebanyak-banyaknya manakala musim hujan. "Tolong lubang-lubang tambang itu direklamasi, sebab sedikit banyaknya, banjir karena lubang-lubang tambang yang tak direklamasi," tukasnya. 

Sedangkan Pjs Sekda Kalsel Roy Rizali Anwar mewakili Gubernur Kalsel mengatakan bahwa banjir besar yang terjadi karena curah hujan yang begitu ekstrim sejak 10-12 Januari 2021. "Apakah ini akibat kerusakan lingkungan yang disumbangkan pertambangan dan perkebunan sawit sebagaimana rekan Walhi sebutkan, perlu kajian yang lebih mendalam dan detil melibatkan akademisi dan kalangan profesional," ujar Roy.

Dikatakannya, Pemprov Kalsel baru sejak 2017 mendapat kewenangan menertibkan pertambangan yang tak berwawasan lingkungan. Dari 978 izin tambang (di bawah 100 hektar) yang sempat diterbitkan para kepala daerah (kabupaten) sudah 625 izin distop oleh Pemprov Kalsel. Menurutnya, ini adalah bentuk keseriusan Pemprov Kalsel dalam rangka membenahi pertambangan batubara yang kurang memperhatikan lingkungan.

Roy menyebutkan juga melalui Revolusi Hijau yang dicanangkan Pemprov Kalsel sejak 2017 lalu, reboisasi lahan kritis 60.000 hektar, kemudian 6.816 Ha bekas tambang berhasil direklamasi, juga 2.365 Ha dilakukan revegetasi atau ditanam kembali. Kebijakan lain ialah menetapkan Pegunungan Meratus sebagai Geo Park, dan diusul juga sebagai Unesco Geo Park sehingga menjadi hutan dunia.

Selain itu, banjir yang terjadi di Kabupaten Banjar, HST, HSU, Tala, Tanbu dan lain-lain, menurut Roy ke depannya memang diperlukan pembangunan bendungan. "Kalau kita lihat di Tapin tidak terlalu terdampak banjir, karena memang ada Bendungan Pipitak. Ke depan, Kabupaten Banjar perlu Bendungan Riam Kiwa, begitu juga Pancur Hana di HST, Bendungan Kusan di Tanbu yang diharap bisa meminimalisir dampak banjir," bebernya.


 

Komentar