Polemik APBD Banjar 2021 Sebab Kurang Cakapnya Guru Khalil? Mesti Banyak Belajar dari Sultan




MARTAPURA - Polemik APBD Banjar 2021 antara eksekutif dengan DPRD Banjar bakal tak selesai meskipun hingga kesempatan terakhir agenda paripurna 30 November 2020 ini. 

Rancangan anggaran yang diajukan eksekutif melalui Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) ternyata kurang memuaskan Ketua DPRD Banjar M Rofiqi yang kali ini mendapat dukungan pula dari para vokalis gedung dewan.

Beberapa tahun kepemimpinan Bupati Banjar H Khalilurrahman ternyata kurang cakap dalam membijaksanai anggaran, sebab belanja pembangunan yang notabene untuk kepentingan masyarakat selalu dalam porsi yang kecil. Belanja langsung yang hanya 30 persen seolah Guru Khalil dan eksekutif kurang berpihak pada rakyat.

70 persen belanja malah lebih dinikmati para pejabat, dalam bentuk tunjangan, operasional, kunker, pengadaan mobdin, dan lain-lain. Sementara belanja untuk rakyat yang sejatinya adalah pemilik sejati kekuasaan malah terkesan "memble". Padahal total belanja kisaran 1,6 triliun hingga 1,9 triliun.

Sementara kalangan menganggap hal ini imbas dari kurang mengertinya Guru Khalil soal birokrasi pemerintahan meski dia terkenal sebagai orang alim dalam ilmu agama.

Nanang kepada pers mengatakan bahwa kurang cakap berbanding lurus dengan ketidakmampuan kepala daerah dalam merencanakan, mengelola dan melaksanakan APBD. "Dalam hal ini kepala daerah kurang cakap dan kurang mengerti skala prioritas pembangunan," ujar Nanang.

30 persen belanja modal pembangunan yang bertalian langsung ke masyarakat itu sudah menggambarkan amburadulnya manajemen. "Semestinya belanja pembangunan yang lebih besar. Kalau Sultan mampu sampai 55 persen, saya malah mengharapkan 60 sampai 70 persen. Belanja ATK rutin 10 persen dan pegawai kisaran 30 sampai 35 persen," tegasnya.

"Pemkab Banjar perlu berkaca dengan Sidoarjo, Gresik atau Surabaya yang belanja modal pembangunannya bisa  mencapai 70 persen. Ini karena kepala daerahnya mampu menggali PAD dan menekan belanja pegawai," cetusnya.

Jika menengok masa pemerintahan Sultan Khairul Saleh sejak 2005 hingga 2015, pembangunan begitu terasa. Hal itu bisa dimaklumi karena porsi belanja pembangunan (langsung) paling kecil 50 persen bahkan bisa mencapai 55 persen.

Kepada pers Sultan membagi tipsnya kala memerintah Kabupaten Banjar dahulu.

"Beberapa  yang ditempuh yakni melaksanakan efisiensi di belanja tidak langsung agar belanja langsung bisa terserap. Titik berat di infrastruktur khususnya jalan mengutamakan  jalan ke ibu kota kecamatan,  juga jalan-jalan poros ekonomi. Jalan desa ke desa atau jalan desa ke kota," terangnya.
 
Menurutnya, kalau jalan dari sentra produksi pertanian perikanan perkebunan dan lain-lain lancar, pendapatan  masyarakat  pun akan meningkat. "Jadi anggaran lebih banyak difokuskan ke sana (pembangunan)," tandas politisi yang mantan birokrat ini.

Sultan juga konsern dalam pembangunan dan perbaikan fasilitas-fasikitas kesehatan dan pendidikan. Sebagai kebutuhan dasar bagi masyarakat.

Selain itu pembangunan kantor-kantor desa sebagai pusat pelayanan masyarakat.

"Pada intinya kebijakan  anggaran yang diambil adalah memperhatikan masukan dan kebutuhan masyarakat berdasarkan hasil musrenbang dan juga hasil menyerap aspirasi  masyarakat baik melalui kunjungan masyarakat atau langsung ke bupati serta serius memperhatikan masukan-masukan dari DPRD," beber Khairul.

Sementara Rofiqi menganggap RAPBD 2021 seperti mengenyampingkan masukan-masukan DPRD. "DPRD seperti tak dihargai. Saya tetap tak tandatangan persetujuan jika kepentingan masyarakat dikecilkan dalam APBD ini," tegasnya.

Berdasar catatan, Sultan dulu kerap menunjuk pejabat Bappeda yang senior dan sudah berpengalaman memimpin sejumlah dinas. Sementara Guru Khalil terkesan gegabah menunjuk pejabat muda yang belum pernah memimpin dinas, sebab berasal dari eselon III, yakni Tantri Narindra.

Padahal pengalaman yang luas akan berpengaruh dalam memanajemen anggaran yang berasal dari 30-an SKPD dengan lebih baik lagi bijak.

Komentar