Struktur APBD Banjar Diakui Tidak Sehat



MARTAPURA - Secara kritis, struktur belanja pegawai dan lain-lain yang terlalu menyedot anggaran pendapatan dan belanja belanja daerah (APBD) Banjar 2020 dianggap tidak sehat, karena lebih banyak tersedot ke anggaran rutin, belanja pegawai dan lain-lain.


Rabu (8/7/2020), Ketua DPRD Banjar Muhammad Rofiqi secara lugas mengakui bahwa struktur belanja pegawai dan tetek-bengeknya yang tidak berkaitan dengan pembangunan di masyarakat justru prosentasenya tinggi mencapai 67 persen. "Coba lihat struktur belanja kita dari sekitar 1,9 triliun, justru lebih banyak belanja pegawai, beserta tetek-bengeknya mencapai 67 persen," ucap politisi Gerindra ini.

Menurutnya, kalau belanja bidang pendidikan sudah bagus berkisar 20 persen tinggal dijalankan secara optimal. "Ini kan sepertinya kurang optimal juga serapannya. Hanya saja saya masih menyayangkan kalau belanja pembangunan hanya berkisar 33 persen. Padahal dalam tatanan ideal agar pembangunan bisa terasa di masyarakat, maka belanja pegawai dan pembangunan semestinya seimbang 50-50," ujarnya.

Rofiqi mengatakan memang sulit merubah belanja di tengah terpaan pandemi Covid-19, yang mau tidak mau akan membuat keuangan daerah babak-belur. "Namun, di 2021 akan kita coba menyeimbangkan belanja pegawai dengan belanja pembangunan ini, misalnya dengan memaksimalkan pendapatan asli daerah, setidaknya mampu mencapai 300 miliar setahun. "Kemudian dinas-dinas yang tidak urgen seperti Dinas Pertanahan Banjar bisa ditiadakan, karena tugas dan fungsinya mirip dengan tugas Badan Pertanahan Nasional. Demikian juga dengan dinas-dinas lain kalau memungkinkan dilakukan merjer saja atau penggabungan sehingga lebih efisien," tukasnya.

Menurut Rofiqi, utang pajak Baramarta mencapai Rp270 miliar perlu dikaji ulang di mana permasalahannya, sementara sumbangan ke kas daerah hanya 500-700 juta setahun saja. "Kalau pajak saja demikian besar, berapa coba pendapatan sebenarnya Baramarta itu," tanyanya.

Senada, Saidan Pahmi dari Demokrat juga menyoal sumbangsih sejumlah perusahaan daerah yang minim bagi kas daerah. "Ini menunjukkan ketidakmampuan pengeloa perusahaan daerah. Tengok saja investasi jaringan PDAM ke Bandara Syamsuddin Noor yang mencapai Rp38 miliar, namun biaya rekening yang dari sana ke kas perusahaan hanya Rp6 juta sebulan. Sampai kapan itu akan kembali modal awalnya," imbuh Saidan.

Begitu juga BPR, dari empat BPR hanya BPR Astambul yang masih menyumbang ke kas daerah itu pun hanya Rp150 juta, sedangkan yang lainnya tidak ada. Menurutnya, PD PBB pun semestinya bisa lebih inovatif sehingga banyak bangunan pasar yang tidak dimanfaatkan pedagang bisa diisi oleh pedagang. "Misal seperti Pasar Gambut, Pasar Sekumpul itu merupakan tantangan yang harus bisa dikelola, bagaimana agar terisi pedagang," ungkapnya.

Selain itu, soal deviden dari Bank Kalsel yang ternyata juga tidak seberapa menyumbang PAD perlu dievaluasi tentang bagaimana kerjasama ke depannya. "Kalau setahun untuk seluruh Kalsel Bank Kalsel menyumbang 175 miliar, kalau dibagi lagi ke daerah kita tentu kecil, karena saham Kabupaten Banjar di Bank Kalsel hanya sekitar 2,11 persen saja," paparnya.

Komentar