Ada Apa di PD Pasar, Jomplang Antara Pendapatan Kotor dengan Deviden


MARTAPURA - PD Pasar Bauntung Batuah (PBB) masih banyak menimbulkan pertanyaan seputar sumbangsihnya bagi kas daerah yang tergolong 'aneh' karena cuma berkisar Rp292 juta, sementara kemampuan meraup laba kotor sebesar Rp9,6 miliar.


Kamis (2/7/2020), Kepala Bappeda Litbang Banjar Dr Tantri Narindra mengatakan bukan pihaknya yang menetapkan angka Rp292 target di 2020, melainkan Bapenda Kalsel. "(Target) Pendapatan itu lain dari kami, itu di Bapenda," jelasnya via WA. Sementara Kepala Bapenda Banjar Dr Farid Soufian mengaku belum menguasai permasalahan mengingat baru enam bulan bekerja di Bapenda Kalsel. "Coba Anda konfirmasi ke Bagian Pendapatan Bapenda Banjar," sarannya.

Kabid Pendapatan Bapenda Banjar Heryanto juga senada mengatakan bahwa hal itu belum terlalu ia pahami, karena juga baru beberapa bulan bekerja di bagian tersebut. Kemudian ia pun meminta bantuan Sukamto, seorang pejabat yang menangani pendapatan asli daerah utamanya deviden perusahaan daerah termasuk dari PD PBB. "Kalau berdasar keterangan jajaran direksi, ada kendala memang dari beban aset yang memerlukan dana pemeliharaan yang besar. PD PBB kan membawahi 18 pasar se-Kabupaten Banjar," ujar Sukamto.

Kemudian, dari pendapatan yang hampir Rp10 miliar itu masih digunakan untuk pajak, biaya operasional, gaji dan honor. Target Rp292 juta itu dilihat dari rencana bisnis sebagaimana sudah diaudit oleh lembaga audit independen per Oktober 2019 lalu. "Dari perhitungan itu, muncul angka laba bersih sebesar Rp686 juta lalu dibagi 55 persen hak daerah ketemu angka Rp373 juta, dan itulah yang menjadi pendapatan di kas derah, sisanya (45 persen) dikembalikan lagi ke kas perusahaan," terang Sukamto yang tergolong pejabat lama yang berurusan dengan semua perusahaan daerah termasuk PD PBB.

Hanya saja, Bapenda menurutnya tidak bisa masuk terlibat dalam audit tersebut, terkecuali audit oleh BPK. Lembaga audit independen yang melakukan audit pun tergantung penunjukan dari pejabat berwenang yang mengawasi. Ditanya apakah kecilnya laba apakah berkait juga dengan biaya-biaya 'siluman' misal untuk memenuhi kebutuhan sejumlah oknum pejabat, Sukamto mengaku tidak mendengar hal itu. Hanya saja, diperkirakan penghasilan kelas direktur saja berkisar Rp40 juta dan honorer biasa saja memperoleh Rp5,5 juta perbulannya.

Sementara itu, anggota Komisi II DPRD Banjar, Saidan Pahmi menerangkan kalau dikomparasikan antara pendapatan kotor dengan deviden, sangat jomplang berarti ada soal efisiensi. "Jadi bila pertanyaannya apakah dengan pendapatan kotor PD PBB sebesar Rp9,6 miliar kemudian memberikan deviden sekitar 560 juta, keberadaan PD PBB menurut saya  sangat tidak efisien. Kalau memang alasannya bahwa PD PBB bukan semata-mata mencari untung tapi ada fungsi lain yang dia emban yakni soal pelayanan, kenapa kita tidak berpikir untuk membuat BLUD saja, sehingga kita tidak berharap profit yang besar terhadap keberadaan insitusi yang mengelola pasar," ujar politisi Partai Demokrat ini.

"Makanya saya mengusulkan agar pemerintah melakukan kajian semacam feasibility study biar asumsi saya ini bisa dijelaskan secara akademis melalui kajian tersebut. Feasibility study itu hanya menggambarkan secara objektif berapa kemungkinan maksimal dan minimal penghasilan PD PBB dan berapa yang bisa dikontribusikan ke PAD melalui deviden," imbuh Saidan.

Ia mengakui laporan keuangan PD PBB hanya secara global saja, meskipun kadang kurang jeli. "Tapi secara etis saya mengkritisi harus berdasarkan data seperti data deviden dan pendapatan kotor. Sekarang yang perlu dicari, targetnya adalah berapa sebenarnya biaya operasional PD PBB itu, mulai gaji, biaya kantor, biaya operasional lainnya. Dari biaya itu maka kita bisa menyimpulkan apakah ada kebocoran atau tidak. Kami boleh meminta tapi cuman gelondongan. Kalau rincian biasanya kecuali ada temuan dan yang meminta itu pansus dewan. Karena pengawasan DPRD itu pengawasan budgeting, berbeda dengan pemeriksaan yang dimiliki kewenangannya oleh inspektorat, BPK dan BPKP," jelasnya.


Komentar