Calon Kepala Daerah Baru Mesti Berani Merombak Belanja, Jika Tidak Hanya Langkah Garing Saja


TAK bisa dipungkiri bahwa geliat pembangunan di masa kepemimpinan Bupati Banjar H Khalilurrahman dan Wabup Saidi Mansyur, Kabupaten Banjar mengalami kemerosotan pembangunan. Banyak suara di masyarakat menyebutkan justru pembangunan tidak sehebat di masa Sultan Khairul Saleh memimpin 2005-2010 dan 2010-2015. Praktis, di masa Guru Khalil 2015 hingga 2020, mulai terjadi penurunan pembangunan.


Hal ini bisa nampak dari sektor belanja langsung yang notabene bersentuhan dengan pembangunan yang bisa dirasakan langsung oleh masyarakat. Memang secara kuantitas belanja daerah mengalami kenaikan, namun secara kualitas, justru makin ke tahun, terjadi penurunan yang signifikan dalam sektor belanja langsung. Sayangnya, sektor belanja tak langsung yang lebih banyak berkaiatan dengan gaji, tunjangan, kunker dan belanja pegawai lainnya malah prosentasenya semakin besar.

Jika dibanding pemerintahan Sultan Khairul, angka belanja langsung (pembangunan) masih bagus, karena bisa melebihi 50 persen, ketimbang belanja tak langsungnya. Contoh, postur APBD 2012 saja, di mana total belanja Rp1,1 triliun itu terdiri dari belanja tak langsung (belanja pegawai) Rp448 miliar dan belanja langsung (pembangunan) sebesar Rp552,4 miliar. Menariknya, 34 persen adalah belanja pada Dinas Pendidikan yang berarti instansi ini sebagai instansi terbesar pemakai dana rakyat atau sebesar Rp395 miliar lebih dari total anggaran belanja Rp1,1 triliun. Selain soal pendidikan fisik, baik jalan, jembatan dan fasilitas publik lainnya, ternyata Sultan Khairul Saleh masih cukup perhatian dengan bidang pendidikan.

Sementara jika dibanding dengan kondisi sekarang, sebagaimana pengakuan Kepala Badan Pengelolaan Kekayaan dan Aset Daerah (BPKAD) Banjar, Zulyadaini kepada pers bahwa total belanja di APBD Banjar 2020 adalah sejumlah Rp2,095 triliun, terdiri dari belanja langsung Rp789 miliar serta belanja tak langsung Rp1,306 triliun. Menurutnya, belanja langsung berkisar 30 persen dari total belanja, sementara belanja tak langsung mencapai 70 persen.

Ancar-ancar itu sebelum mewabahnya Covid-19. Begitu wabah Corona merebak, Kabupaten Banjar dan sejumlah daerah mengalami penurunan penerimaan daerah. Daerah ini diperkirakan mengalami koreksi belanja, sehingga yang mulanya 2 atau 1,9 triliun rupiah, diperkirakan hanya rasional bertahan di angka Rp1,6 triliun. Hampir semua SKPD mengalami pemangkasan untuk pergeseran anggaran hingga 50 persen. Namun, sayangnya, pergeseran anggaran sebagian besar atau hampir seluruhnya justru mengambil dari sektor belanja langsung yang notabene porsinya sudah kecil cuma 30 persen. Padahal, pembangunan sangat penting untuk merangsang roda perekonomian yang berimbas pada pemerataan kesejahteraan masyarakat.

Dampaknya sangat terasa, berdasar rilis Gugus Tugas Percepatan Penanggulangan (GTPP) Covid-19 Banjar, dana cadangan penanggulangan wabah Corona berkisar 99 miliar hingga 103 miliar rupiah.
 Sejauh ini berdasar laporan sementara, penggunaan dana sudah melebihi Rp20,7 miliar baik untuk insentif paramedis, penanganan terduga Corona, maupun pasien positif Corona, hingga upaya pemulihan ekonomi warga termasuk bantuan langsung tunai ke masyarakat terdampak yang mencapai 60 ribuan KK, yakni hampir separuh penduduk Banjar yang mencapai 560 ribu jiwa..

Memang seolah-olah indah, namun pergeseran anggaran tersebut tetap saja menurut saya kurang elok, karena dana tersebut sejatinya memang milik rakyat yang hanya dirubah bentuknya. Yang awalnya buat membiayai perbaikan jalan, jembatan atau fasilitas publik yang berkaitan langsung dengan masyarakat, kali ini dialihkan untuk belanja lain yang nyatanya tidak seluruhnya juga dinikmati masyarakat secara langsung. Sebab, masih ada penikmat lainnya yang adalah aparatur negara dan daerah.

Hampir tak terdengar atau diungkapkan dengan jelas, pergeseran anggaran apakah menimpa gaji, tunjangan atau fasilitas lainnya yang berkaitan dengan pejabat dan pegawai yang di daerah ini lebih dari 8.000. Rasionalisasi belanja tak langsung harus segera dilakukan, tak bisa dilakukan oleh kepala daerah sekarang, maka calon kepala daerah mendatang harus berani melakukan terobosan, menyeimbangkan belanja langsung dan tak langsung ini setidaknya 50:50.

Ini bisa saja terjadi, karena sebelum-sebelumnya, hal ini pernah terjadi dan memang sebuah ide yang sah-sah saja. Logikanya rakyat mempercayakan dana pajaknya kepada pemerintah, maka dalam mengelolanya adalah wajar jika upahnya setengah, dan bahan serta nilai pembangunannya juga setengah. Calon kepala daerah jika tak berani bercita-cita menyeimbangkan kedua belanja ini, menurut saya sama saja dengan langkah garing kurang bermakna untuk melakukan sebuah perubahan yang lebih berpihak kepada pembangunan dan masyarakat.

Saya masih menaruh harapan dengan kecerdasan Menteri Keuangan Sri Mulyani yang selalu berusaha keras menyelematkan perekonomian negara. Ia dalam sejumlah media nasional sudah mewanti-wanti bahwa belanja langsung harus diperbesar, sehingga dana rakyat tidak terkesan hanya untuk ngurusi para pejabat saja. Sri yang pernah menjadi salah satu wanita paling berpengaruh di dunia ini mengakui dilema sistem belanja di banyak daerah.

Sri Mulyani mencatat bahwa sekitar 13,4 persen dana APBD ternyata digunakan untuk perjalanan dinas. Lalu sekitar 17,5 persennya untuk jasa kantor. Total nilainya mencapai 31 persen dari APBD. Besar belanja pegawai, sementara itu, menyentuh sekitar 36 persen. Jika ditotal dengan pos belanja sebelumnya, Menkeu berkesimpulan, sekitar 70 persen belanja APBD hanya digunakan untuk mengurusi pejabat daerah. Menurutnya, hal ini merupakan ironi karena masyarakat hanya mendapat sisa sekitar 30 persen atau sepertiganya saja. Ia mengatakan, porsi anggaran yang demikian harus diubah sehingga masyarakat mendapat manfaatnya.

Komentar