Nur Muhammad SAW Asal Mula Alam Semesta

Oleh: Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani

Sebagai pendahuluan bahwa Nur Muhammad ini merupakan konsep yang lumrah ditemukan dalam pengajaran ilmu tasawuf. Ianya menjadi kontroversi karena ada dua pandangan tentang Nur Muhammad, yakni ada yang mempercayainya, namun tak sedikit juga yang meragukan hingga mendustakannya.


Namun, jika dikaitkan, maka ada kesamaan pandangan antara Syaikh Abdul Qadir Jailani dengan Syaikh Zaini Ghani Sekumpul tentang Nur Muhammad ini. Sebagaimana dirilis dari  https://yasirmaqosid.wordpress.com dapat digambarkan bagaimana konsep Nur Muhammad ini.

Menurut Syaikh Abdul Qadir Jailani bahwa Allah SWT pertama kali menjadikan cahaya atau nur yang disebut Nur Muhammad SAW dari sifat Jamal-Nya. Rasulullah SAW pernah bersabda bahwa yang mula-mula diciptakan Allah adalah ruh Muhammad. Ia diciptakan dari cahaya Ketuhanan. Selanjutnya Rasulullah SAW bersabda bahwa yang pertama kali diciptakan adalah Qalam dan Aql.

Ruh Muhammadiyyah (Ruh Muhammad) adalah Dzat atau segala yang berwujud. Dialah yang awal dan menjadi hakikat alam semesta. Allah Swt menciptakan segala ruh dari ruhnya. “Muhammad” adalah nama bagi insan dalam alam gaib (alam berkumpulnya ruh-ruh). Ia menjadi sumber dan asal segala perkara.

Tanda-tanda ini tepat, seperti yang dilihat oleh Bapak Manusia, Nabi Adam AS, yaitu setelah dia diciptakan. Nabi Adam melihat nama Muhammad di pintu Surga bersanding dengan nama Allah. Dengan tanda-tanda itu, mengertilah Adam bahwa orang yang memiliki nama itu adalah semulia-mulia manusia yang akan diciptakan Tuhan di antara semua ciptaan-Nya di kemudian hari.

Setelah lahirnya Nur Muhammad, Allah menciptakan pula Arsy. Kelahiran Nur Muhammad ini juga diikuti dengan penciptaan makhluk-makhluk lain serta Arsy-Nya. Peristiwa ini berlaku menurut kehendak Allah. Kemudian Allah menurunkan ruh atau makhluk-makhluk itu ke derajat yang paling rendah, yaitu Alam Ajsam (Alam Kebendaan) yang konkrit dan nyata. Allah SWT berfirman, “Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya.”(At-Tin: 5)

Allah SWT menurunkan Nur itu dari tempat asal kejadiannya, yaitu Alam Lahut (Alam Ketuhanan) ke Alam Asma` Allah. Dari Alam Asma Allah itulah, ruh-ruh itu turun ke Alam Malakut. Di situ ruh-ruh itu dipakaikan dengan pakaian kemalaikatan yang gemerlap. Kemudian mereka diturunkan ke Alam Ajsam yang tercipta dari unsur api, air, angin (udara), dan tanah. Maka ruh itu dibentuk dengan diberi badan yang terjadi dari darah, daging, tulang, urat, dan sebagainya.

Demikianlah, sudah menjadi takdir dan ketetapan Allah SWT, bahwa manusia harus diciptakan sedemikian rupa, untuk menghuni alam dunia ini. Kemudian sesudah selesai waktu atau sampai ajal yang ditetapkan untuk ia hidup di dalamnya, ia akan kembali kepada asalnya sesuai dengan kehendak Penciptanya, sebagaimana yang ditunjukkan dalam firman Allah SWT, “Darinya Kami menjadikan kamu dan kepadanya Kami mengembalikan kamu, dan daripadanya Kami akan mengeluarkan kamu pada kali yang lain.”(Thaha: 55)

Kemudian Allah SWT memerintahkan ruh-ruh itu untuk menduduki badan-badan yang dikhususkan bagi mereka masing-masing, sehingga lengkaplah suatu penciptaan yang amat sempurna. Kemudian disuruh pula para malaikat dan jin untuk memberikan penghormatan kepada makhluk penciptaan-Nya itu, sebagaimana firman Allah Swt, “Maka apabila telah Aku sempurnakan kejadiannya dan Aku tiupkan kepadanya ruh-Ku, maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya.”(Shad: 72)

Setelah ruh itu dimasukkan ke dalam badan, maka lupalah ia asalnya dan perjanjiannya dengan Allah SWT. Lupalah ruh itu yang datang dari Alam Ruh. Lupalah ia perjanjiannya dengan Allah, tatkala di Alam Ruh. Lupalah ia ketika dahulu pernah ditanya, “Bukankah Aku (Allah) adalah Tuhan kamu? Mereka menjawab, “Benar dan kami menyaksikan …..” (Al-A’raf: 172)

Lupalah ruh-ruh itu akan asal-usulnya dan perjanjiannya dengan Allah SWT. Lupalah ia bahwa ia akan kembali kepada Allah SWT, seperti sedia kala setelah selesai ketetapan ajalnya untuk hidup di muka alam yang fana ini. “…….Dan mereka mengira bahwa yang mereka tidak akan kembali lagi kepada Kami.”(Al-Qashash: 39)

Demikianlah sikap manusia yang melupakan dirinya, sehingga tidak mengenali Tuhan yang menciptakannya!

Allah SWT Maha Pengasih dan Penyayang. Allah SWT tidak membiarkan ruh-ruh berada dalam kesesatan dan kejahilan. Disadarkanlah mereka seperti semula denan mengutus para rasul dan kitab-kitab agar mereka tidak lupa dan lalai. Allah SWT berfirman, “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Musa dengan membawa ayat-ayat Kami (dan Kami perintahkan kepadanya), keluarkanlah kaummmu dari kegelapan menuju cahaya yang terang benderang dan ingatkan mereka akan hari-hari Allah.”(Ibrahim: 5)

Maksud ayat ini adalah mengingatkan kembali kepada ruh-ruh itu tentang asal kejadiannya dan pertaliannya dengan Allah SWT sebagai Penciptanya. Para rasul telah diutus di bumi ini, seorang demi seorang, silih berganti, untuk menjalankan tugas dari Allah SWT di bahu mereka, dan setelah tugas itu selesai, mereka pun kembali ke hadirat Ilahi.

Para rasul datang untuk menyadarkan setiap orang (ruh) tentang asal-usul mereka, siapa mereka yang sebenarnya, dari mana mereka datang dan kemana mereka akan pergi. Hanya orang-orang yang ingat kepada Allah SWT, yang menghadapkan wajah kepada-Nya, yang mau kembali ke asalnya, sedangkan orang yang sampai ke tujuannya, semakin lama semakin berkurang.

Para rasul terus berdatangan silih berganti. Dan, risalah terus diturunkan hingga akhirnya sampai kepada Nabi Muhammad SAW, yaitu Nabi dan Rasul terakhir. Allah SWT menurunkan para Rasul itu untuk membuka mata hati insan supaya tersadar dari kealpaan dan kelalaiannya serta menarik mereka kembali masuk ke dalam golongan manusia yang mengenal sifat-sifat Allah. Dari sanalah kemudian manusia akan menjejakkan kakinya di titian Haqiqah, yakni ke derajat hakikat untuk mengenal Allah SWT yang telah menciptakannya lalu bertaqarrub kepada-Nya. Allah Swt berfirman, “Katakanlah, Inilah jalanku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak kamu kepada Allah dengan hujjah yang nyata.”(Yusuf: 108)

sumber: https://yasirmaqosid.wordpress.com yang sebelumnya menukil dari Kitab Sirru Al-Asrar Fi Ma Yahtaj Ilaihi Al-Abrar, karya Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani, hlm. 19-23.

Komentar