Saya, Adi Permana, seorang wartawan yang coba mengkritik,
menyumbang saran bahkan pujian buat sebuah klub asal Martapura, yakni
Martapura FC.
Secara prestasi untuk sebuah klub yang tergolong baru,
berada di papan atas Liga 2 atau sebelumnya Divisi Utama, memang tak
bisa dipandang remeh. Dua kali berturut menembus final dan semifinal
tentu tidak main-main dari sektor teknis.
Sang pelatih, Frans Sinatra Huwae menurut saya termasuk
pelatih yang bagus. Meski tak mutlak sama dengan gaya tiki-taka
Barcelona FC racikan Pep Guardiola, namun saya melihat gaya main
anak-anak Laskar Sultan Adam sudah cantik dan menghibur.
Namun, penerapan umpan-umpan panjang dari sektor bek sayap
atau tengah ke jangkauan striker, menurut saya sebuah perpaduan yang
variatif, sehingga wajar saja.kalau klub sekelas Barito Putera yang
berlaga di Liga 1 pun tak mudah menang, bahkan kerap juga kalah, hehe.
Tim lain penghuni Liga 2 menurut saya lumrah jika
mewaspadai pergerakan pemain maupun gairah klub MFC. Bahkan, tidak
menutup kemungkinan MFC akan promosi dan menggeliat di kasta tertinggi
persepakbolaan Indonesia.
Sampai ke teknis bermain saya kira hanya tinggal ditanamkan
kepada pemain agar tidak cepat merasa puas hanya sekadar menjadi
"bangsawan" di Liga 2, sebab mereka harus sadar kalau mereka pun pantas
berlaga seperti saudara tuanya Barito Putera.
Oh ya, saya pikir di MFC pun perlu ada motivator juga
selain jajaran teknis seperti pelatih dan direktur teknik, sebab
kualitas teknik saya pikir sudah rata-rata. Jadi tinggal membina mental,
moral dan akhlak pemain saja lagi agar tidak mudah terlena namun terus
berusaha untuk meraih yang lebih pantas.
Pengawasan juga mesti diperbagus, karena tak menutup
kemungkinan kalau ada pemain yang tergoda untuk hidup layaknya
selebritis, menyeruak ke dunia gemerlap malam dan akhirnya tidak
disiplin berlatih, maka ini menjadi kontra produktif untuk membangun
klub yang tangguh.
Untuk menopang kemajuan sebuah klub, MFC juga semestinya
memiliki sekolah dan akademi sepakbola, yang merekrut pemain berbakat
mulai usia kadet hingga akhir remaja (U-18), karena jangan sampai klub
hanya merogoh kocek dalam-dalam karena kelangkaan pemain lokal. Saat ini
memang pemain lokal mendapat tempat, tetapi itu akan habis seiring
menuanya usia pemain atau terbeli klub lain.
Ini tentu saja berhubungan dengan finansial. Sejauh ini MFC
kesulitan memperoleh sponsor, minimal yang mau mencantumkan brand
tunggal di dada kostum. Saya agak heran juga kenapa belum ada perusahaan
yang mau mencantumkan namanya di kostum pemain. Padahal banyak
perusahaan besar di Kalsel ini, mulai bank, bidang sawit hingga
batubara.
Saran saya, angkat saja secara ex officcio di level pembina
klub entah itu kapolda atau kajati, biar posisi bergaining klub lebih
bagus. Masa tidak boleh, lha wong yang ngurus klub kan banyak pegawai
juga?
Trus soal kostum, menurut saya MFC harus jeli menyesuaikan
dengan karakter urang Banjar yang dikenal lumayan religius. Di Bumi
Lambung Mangkurat ini warna kebesaran itu cuma dua, yakni kuning dan
hijau. Tak perlu egois dengan tetap pada warna lama, perak dan merah,
kalau memang ingin lebih berada dalam hati peminat dan suporter bola
lokal.
Latar belakang kuning dan hijau ini panjang sejarahnya
sehingga cukup saja bagi kita mengetahui bahwa yang lumrah menjadi
kesukaan urang Banjar adalah warna itu, kalau gak kuning ya hijau.
Berhubung warna kuning sudah dibrandingkan oleh Barito Putera, MFC harus
berani mengambil warna hijau. Sehingga warna perak bisa menjadi kostum
tandang. Kalau merah, meski terkesan sebagai berani, idiomnya masih
kurang disuka kalangan warga yang cukup agamis.
Nama suporter yang berbau "monster" pun kurang
menguntungkan bahkan blunder paling konyol, karena nama itu lebih
berimej negatif, berlawanan dengan kehendak warga Martapura yang ingin
selamat, meski tidak alim sekalipun.
Masih ngeyel dengan nama monster? Yah harus siap saja
dengan kenyataan sulitnya mencari anggota baru, yang berimbas pada masih
banyaknya kursi kosong tribun yang semestinya mampu memuat 25 ribu
suporter.
Dalam hal ini suporter perlu membuat terobosan yang wajar
baik merubah nama menjadi lebih baik dan mudah diterima kebanyakan warga
Martapuravdan Banjar, juga harus seirama dengan warna kebesaran klub
yang saya harapkan hijau.
Terakhir, soal upaya pempopuleran MFC di kalangan jurnalis
atau wartawan. Secara pribadi, saya kurang setuju langkah pengurus klub
membuat kerjasama media partner dengan media tertentu. Meski ada nilai
nominalnya, namun saya pikir itu kurang menguntungkan bagi klub. Ketika
media lain berusaha mengklaim MFC sebagai binaannya, alhasil media lain
yang masih banyak tentunya akan terkesan kurang mau tahu dengan MFC, ini
tentu saja tidak bagus bagi upaya mempromosikan klub di banyak media.
Seyogyianya klub tetap membina hubungan yang netral dengan
berbagai media massa. Di samping akan lebih bagus untuk membumi dan
melangitkan nama Martapura FC, juga menjadi modal berharga bagi klub
untuk mendatangkan sponsor yang royal terhadap pembinaan klub. Jangan
sampai ketika tembus Liga 1, klub malah belum siap dana untuk membeli
pemain asing yang terbilang mahal-mahal.
Intinya, klub harus berani bersikap berada di semua media,
tanpa terpaku di media tertentu meski besar. Kalau saya yang jadi
petinggi klub, stop media partner, lebih baik jika klub berada di hati
tiap media. Salam olahraga. Adi Permana
Komentar