MARTAPURA - Haul ke-11 Guru Sekumpul atau bernama lengkap Al 'Alimul 'Alamah Al 'Arifbillah As Syaikh Al Hajj Muhammad zaini bin Al 'Arifbillah H Abdul Ghani tadi malam, Minggu (10/4) memang luar
biasa. Betapa tidak, acara tahunan ini menjadi magnet bagi ratusan ribu jamaah. Jika semua nasi samin kotak/bungkus habis dibagikan, maka setidaknya setengah juta orang hadir di Sekumpul.
Tak hanya dari lokal Kalimantan, jamaah yang hadir berasal dari Jawa, Sumatra, Singapura, Yaman, bahkan dari Turki. Begitu juga para habaib, ulama, dan para pejabat tinggi Kalsel tak ketinggalan mengisi barisan shaf Mushalla Ar Raudhah. Gubernur Kalsel Sahbirin, Bupati Banjar H Khalilurrahman, Walikota Banjarmasin Ibnu Sina, Bupati Tanbu Mardani Maming dan lain-lain ikut larut berbaur bersama jamaah.
Jamaah mengisi jalan-jalan seputar Sekumpul, juga menyesaki rumah-rumah warga yang dengan ikhlas menyediakan tempat. Bahkan, ada sejumlah dermawan yang rela warungnya dikunjungi untuk belanja makan
makan minum secara gratis.
Sejak pagi, Sekumpul sudah mulai dipadati jamaah, apalagi menjelang Ashar, sudah sangat padat dan sulit bagi jamaah yang belakangan datang untuk meringsek maju ke area dekat kubah maupun regol
Sekumpul. Yang bisa masuk hanya tamu VIP, petugas keamanan dan panitia serta wartawan.
Acara memasuki puncaknya begitu selesai shalat Maghrib yang diimami Guru Sa'aduddin. Dua anak Guru Sekumpul, Muhammad Amin Badali dan Ahmad Hafi Badali didampingi Guru Sa'aduddin pembacaan
simtudhuror serta maulid Habsy dibawakan dengan khidmat sebagaimana biasa setiap malam Senin di Majlis Sekumpul. Pembacaan tahlil untuk dihadiahkan kepada Guru Sekumpul dipimpin oleh Guru Masdar
Sungai Tuan, Astambul.
Lisa dari Kaltim mengaku datang sejak dua hari lalu, demi bisa mengambil berkah Guru Sekumpul. Menurutnya, sangat sayang kalau ia bersama suami dan anaknya tidak bisa hadir. Untuk itu, sangat
beruntung bagi mereka ketika ada kelebihan rezeki bisa datang ke Martapura.
Tahun ini, rekayasa lalulintas diupayakan selalu satu arah untuk jalan-jalan seputar Sekumpul, guna menghindari macet sebagaimana tahun sebelumnya. "Mudah-mudahan dengan rekayasa ini, jamaah bisa
lebih nyaman ketika harus pulang dari Sekumpul. Ratusan petugas kita dibantu rekan polisi dan panitia haul sudah bersinergi dan sepaham untuk melaksanakan rekayasa lalulintas," ungkap Kadishub
Banjar Aidil Basith.
Sementara itu, wakil panpel, Fakhrurrazi mengatakan, pihaknya berupaya semaksimal mungkin melayani jamaah, semoga dapat mengikuti haul secara khidmat dan nyaman. "Tentu saja, kita berharap, smeoga
Allah melimpahkan berkah-Nya dengan berkat menghadiri haul salah satu aulia-Nya," ungkapnya. adi
Riwayat Singkat Guru Sekumpul
Kyai Haji Muhammad Zaini Abdul Ghani atau Syaikhuna al-Alim al-Allamah Muhammad Zaini bin al-Arif billah Abdul Ghani bin
Abdul Manaf bin Muhammad Seman bin Muhammad Sa’ad bin Abdullah bin al-Mufti Muhammad Khalid bin al-Alim al-Allamah al-
Khalifah Hasanuddin bin Syaikh Muhammad Arsyad al-Banjari yang bergelar Al Alimul Allamah Al Arif Billaah Albahrul Ulum Al
Waliy Qutb As Syeekh Al Mukarram Maulana (biasa dipanggil Abah Guru Sekumpul atau Tuan Guru Ijai).
Beliau adalah sufi termasyhur, juga sosok Wali Allah kharismatik Martapura, Kalimantan Selatan, yang menyatukan syari’at,
tarekat dan hakikat dalam dirinya.
Beliau lebih dikenal dengan sebutan Guru Ijai atau Guru Sekumpul, dan juga salah seorang ulama yang mempopulerkan Simthad
Durar atau Maulid Habsyi di Kalimantan Selatan. Pada zamannya Guru Ijai adalah satu-satunya ulama Kalimantan, atau mungkin
di Indonesia, yang mendapat otoritas untuk mengijazahkan Tarekat Samaniyyah yang didirikan oleh MUHAMMAD SAMAN.
Masa kecil dan pendidikan
Zaini Abdul Ghani atau Guru Ijai lahir pada 11 Februari 1942 (27 Muharram 1361 H) di Kampung Tunggul Irang Seberang,
Martapura. Beliau masih keturunan dari ulama besar Syekh ARSYAD AL-BANJARI. Di masa kecilnya beliau memiliki keistimewaan
yakni tak pernah mengalami “mimpi basah” (ihtilam). Pendidikan pertamanya diberikan oleh kedua orang tuanya, Haji Abdul
Ghani dan Hajah Masliah binti Haji Mulya, dan oleh neneknya, Hajah Salbiyah. Bersama neneknya inilah beliau suka sekali
membaca al-Qur’an. Pada usia tujuh tahun beliau masuk madrasah di Kampung Keraton, Martapura. Pada masa kecil ini beliau
belajar al-Qur’an pertama kali kepada Guru Hasan. Orang tuanya, yang tergolong orang sederhana, selalu membekalinya
sebotol minyak untuk diberikan kepada gurunya ini. Sejak usia 10 tahun Guru Ijai telah dikaruniai kassyaf hissi, yakni
mampu melihat dan mendengar apa-apa yang tersembunyi atau hal-hal ghaib. Pada usia 14 tahun beliau dikaruniai futuh
(pencerahan spiritual) saat membaca sebuah tafsir al-Qur’an. Pada masa remaja ini pula beliau mengalami perjumpaan
spiritual dengan Sayyidina Hasan dan Husain, cucu Rasulullah. Kedua cucu Rasulullah ini masing-masing membawa pakaian dan
mengenakannya langsung kepada beliau lengkap dengan sorbannya.
Beliau melanjutkan pendidikannya ke Pesantren Datu Kalampian Bangil, Jawa Timur, kepada Kyai Sarwani Abdan yang juga
berasal dari Martapura. Di sini beliau selain mendapat pendidikan syariat juga mendalami ilmu spiritual. Selanjutnya
beliau berguru kepada Syekh Falah di Bogor. Selain kepada kedua ulama ini, beliau juga mendalami syariat dan tarekat
kepada Syekh Muhammad Yasin Padang di Mekah, Syekh Hasan Masysyath, Syekh Isma’il Yamani, Syekh Abdul Qadir al-Baar, Syekh
Sayyid Muhammad Amin Kutby, Allamah Ali Junaidi (Berau) ibn Jamaluddin ibn Muhammad Arsyad. Atas petunjuk Syekh Ali
Junaidi, beliau kemudian belajar kepada Syekh Fadhil Muhammad (Guru Gadung). Kepada Guru Gadung ini Guru Ijai belajar
tentang ajaran Nur Muhammad. Beliau juga mendapat ijazah Maulid Simthud Durar dari sahabat karibnya, Habib Anis ibn Alwi
ibn Ali al-Habsyi dari Solo, Jawa Tengah.
Beliau sempat menjadi pengajar di Pesantren Darussalam Martapura selama lima tahun, kemudian membuka pengajian di rumahnya
sendiri pada 1970-an, di dampingi oleh seorang kyai terkenal yakni Guru Salman Bujang (Guru Salman Mulya). Pengajian
dimulai setiap hari Kamis petang hingga malam Jum’at. Pada 1988 beliau pindah ke Kampung Sekumpul, membuka kompleks
perumahan ar-Raudhah atau Dalam Regol. Sejak itu kewibawaan dan kharismanya memancar luas – murid-muridnya dan tamu-
tamunya berdatangan dari berbagai daerah, bahkan dari negeri jiran seperti Malaysia, Singapura dan Brunei. Sebagian datang
untuk berguru, sebagian mencari barakahnya, dan sebagian ingin berbaiat Tarekat Samaniyyah. Juga beberapa tokoh nasional
menyempatkan diri mengunjunginya, seperti Amien Rais, Gus Dur, Megawati, AA Gym dan sebagainya.
Pengaruh kehidupan keluarga
Gemblengan ayah dan bimbingan intensif pamannya semenjak kecil betul-betul tertanam. Semenjak kecil ia sudah menunjukkan
sifat mulia; penyabar, ridha, pemurah, dan kasih sayang terhadap siapa saja. Kasih sayang yang ditanamkan dan juga
ditunjukkan oleh ayahnya sendiri. Seperti misalnya, suatu ketika hujan turun deras, sedangkan rumah Guru Sekumpul
sekeluarga sudah sangat tua dan reot. Sehingga air hujan merembes masuk dari atap-atap rumah.Pada waktu itu, ayahnya
menelungkupinya untuk melindungi tubuhnya dari hujan dan rela membiarkan dirinya sendiri tersiram hujan.
Abdul Ghani bin Abdul Manaf, ayah dari Guru Sekumpul juga adalah seorang pemuda yang saleh dan sabar dalam menghadapi
segala situasi dan sangat kuat dengan menyembunyikan derita dan cobaan. Tidak pernah mengeluh kepada siapapun. Cerita duka
dan kesusahan sekaligus juga merupakan intisari kesabaran, dorongan untuk terus berusaha yang halal, menjaga hak orang
lain, jangan mubazir, bahkan sistem memenej usaha dagang dia sampaikan kepada generasi sekarang lewat cerita-cerita itu.
Beberapa cerita yang diriwayatkan adalah sewaktu kecil mereka sekeluarga yang terdiri dari empat orang hanya makan satu
nasi bungkus dengan lauk satu biji telur, dibagi empat. Tak pernah satu kalipun di antara mereka yang mengeluh. Pada
masa-masa itu juga, ayahnya membuka kedai minuman. Setiap kali ada sisa teh, ayahnya selalu meminta izin kepada pembeli
untuk diberikan kepada beliau. Sehingga kemudian sisa-sisa minuman itu dikumpulkan dan diberikan untuk keluarga.
Adapun sistem mengatur usaha dagang, ayah beliau menyampaikan bahwa setiap keuntungan dagang itu mereka bagi menjadi tiga.
Sepertiga untuk menghidupi kebutuhan keluarga, sepertiga untuk menambah modal usaha, dan sepertiga untuk disumbangkan.
Salah seorang ustadz setempat pernah mengomentari hal ini, “bagaimana tidak berkah hidupnya kalau seperti itu.” Pernah
sewaktu kecil beliau bermain-main dengan membuat sendiri mainan dari gadang pisang. Kemudian sang ayah keluar rumah dan
melihatnya. Dengan ramah sang ayah menegurnya, “Nak, sayangnya mainanmu itu. Padahal bisa dibuat sayur.” Beliau langsung
berhenti dan menyerahkannya kepada sang ayah.
Guru Ijai menikah tiga kali, dan dikarunia dua putra dari istri keduanya, Hajjah Laila, yakni Muhammad Amin Badali al-
Banjari dan Ahmad Hafi Badali al-Banjari.
Ajaran dan karamah
Sebagai ulama, beliau dikenal sebagai orang yang amat lembut, kasih sayang, sabar, dermawan dan tekun. Apapun yang terjadi
terhadap dirinya, beliau tak pernah mengeluh – bahkan pernah beliau dipukuli oleh orang-orang yang dengki kepadanya namun
beliau tidak mengeluh atau mendendam sama sekali. Beliau juga mengajarkan agar orang senantiasa mencintai dan hormat
kepada ulama yang baik dan saleh. Hal ini dicontohkan dalam sikapnya: ketika masih kecil beliau selalu menunggu di tempat
yang biasa dilewati oleh Syekh Fadhil Zainal Ilmi pada hari-hari tertentu semata-mata hanya untuk bersalaman dan mencium
tangan kyai tersebut. Jika ada yang mengkritik atau mencaci-maki ajaran tarekatnya, atau mengejek keadaan dirinya, beliau
hanya diam, karena beliau menganggap mereka adalah orang-orang yang belum mengerti dan memahami. Tamu-tamu yang datang
selalu dijamu makanan, termasuk pada waktu pengajian. Tidak kurang dari 3000 orang selalu datang ke pengajiannya dan
selalu diberi jamuan makan.
Kedermawanannya ini tampak bukan hanya kepada lingkungan sekitar, tetapi juga ke setiap tempat yang disinggahinya. Salah
satu pesannya adalah “Jangan bakhil” karena itu adalah sifat tercela. Beliau sering mengutip pesan “pintu surga diharamkan
bagi orang bakhil.” Beliau juga mengajarkan apa yang disebutnya kaji-gawi, artinya menuntut ilmu dan diamalkan. Salah satu
keunikannya dalam berdakwah adalah perhatiannya kepada kesehatan umat. Pada waktu tertentu beliau mendatangkan dokter
spesialis (jantung, ginjal, paru, mata, dan sebagainya) untuk memberikan penyuluhan kesehatan sebelum pengajian dimulai.
Beliau juga menulis beberapa kitab, di antaranya adalah Risalah Mubarakah; Manaqib as-Syaikh as-Sayyid Muhammad bin Abdul
Karim al-Qadiri al-Hasani as-Saman al-Madani; Risalah Nuraniyah fi Syarhit Tawassualtis Sammaniyah; dan Nubdzatun fi
Manaqib al-Imam al-Masyhur bil-Ustadz al-A’zham Muhammad bin Ali Ba’Alawy.
Beberapa kisah karamahnya diantaranya adalah sebagai berikut. Saat masih di Kampung Keraton beliau biasanya duduk-duduk
dengan beberapa orang sambil bercerita tentang orang-orang terdahulu untuk mengambil pelajaran dari kisah itu. Suatu saat
beliau bercerita tentang buah rambutan, yang saat itu belum musimnya. Tiba-tiba beliau mengacungkan tangannya ke belakang,
seolah-olah mengambil sesuatu, dan mendadak di tangan beliau sudah memegang buah rambutan matang, yang kemudian beliau
makan. Beliau juga bisa memperbanyak makanan – setelah makan sepiring sampai habis, tiba-tiba makanan di piring itu penuh
lagi, seakan-akan tak dimakan olehnya. Dikisahkah pula, suatu ketika terjadi musim kemarau panjang, dan sumur-sumur
mengering. Masyarakatpun meminta kepada Guru Ijai agar berdoa meminta hujan. Beliau lalu mendekati sebatang pohon pisang,
menggoyang-goyangkan pohon itu dan tak lama kemudian hujan pun turun. Beliau juga dikenal bisa menyembuhkan banyak orang
dengan kekuatan spiritualnya.
Beberapa Catatan lain berupa beberapa kelebihan beliau adalah dia sudah hafal Al-Qur'an semenjak berusia 7 tahun. Kemudian
hapal tafsir Jalalain pada usia 9 tahun. Semenjak kecil, pergaulannya betul-betul dijaga. Kemana pun bepergian selalu
ditemani. Pernah suatu ketika beliau ingin bermain-main ke pasar seperti layaknya anak sebayanya semasa kecil. Saat
memasuki gerbang pasar, tiba-tiba muncul pamannya, Syaikh Seman Mulya di hadapannya dan memerintahkan untuk pulang.
Orang-orang tidak ada yang melihat Syekh, begitu juga sepupu yang menjadi ”bodyguard”-nya. Dia pun langsung pulang ke
rumah.
Dalam usia kurang lebih 10 tahun, sudah mendapat khususiat dan anugerah dari Tuhan berupa Kasyaf Hissi yaitu melihat dan
mendengar apa yang ada di dalam atau yang terdinding. Dalam usia itu pula beliau didatangi oleh seseorang bekas
pemberontak yang sangat ditakuti masyarakat akan kejahatan dan kekejamannya. Kedatangan orang tersebut tentunya sangat
mengejutkan keluarga di rumah beliau. Namun apa yang terjadi, laki-laki tersebut ternyata ketika melihat beliau langsung
sungkem dan minta ampun serta memohon minta dikontrol atau diperiksakan ilmunya yang selama itu ia amalkan, jika salah
atau sesat minta dibetulkan dan dia pun minta agar supaya ditobatkan.
Pada usia 9 tahun pas malam jumat beliau bermimpi melihat sebuah kapal besar turun dari langit. Di depan pintu kapal
berdiri seorang penjaga dengan jubah putih dan di gaun pintu masuk kapal tertulis “Sapinah al-Auliya”. Beliau ingin masuk,
tapi dihalau oleh penjaga hingga tersungkur. Dia pun terbangun. Pada malam jum’at berikutnya, ia kembali bermimpi hal
serupa. Dan pada malam jumat ketiga, ia kembali bermimpi serupa. Tapi kali ini ia dipersilahkan masuk dan disambut oleh
salah seorang syekh. Ketika sudah masuk ia melihat masih banyak kursi yang kosong.
Ketika beliau merantau ke tanah Jawa untuk mencari ilmu, tak disangka tak dikira orang yang pertama kali menyambutnya dan
menjadi guru adalah orang yang menyambutnya dalam mimpi tersebut.
Meninggal dunia
Sebelum meninggal dunia Guru Ijai sempat dirawat di Rumah Sakit Mount Elizabeth, Singapura, selama 10 hari. Tetapi pada
hari Selasa malam beliau pulang dan tiba di Bandara Syamsuddin Noor, Banjarmasin, pada pukul 20.30. Keesokan harinya, Rabu
10 Agustus 2005, pukul 5.10 waktu setempat, beliau meninggal dunia. Ribuan orang berdatangan untuk memberikan penghormatan
terakhir dan mengiringi jenazah beliau hingga ke pemakaman. Begitu mendengar kabar meninggalnya Guru Sekumpul lewat
pengeras suara di masjid-masjid selepas salat subuh, masyarakat dari berbagai daerah di Kalimantan Selatan berdatangan ke
Sekumpul Martapura untuk memberikan penghormatan terakhir pada almarhum. Pasar Martapura yang biasanya sangat ramai pada
pagi hari, Rabu pagi itu sepi karena hampir semua kios dan toko-toko tutup. Suasana yang sama juga terlihat di beberapa
kantor dinas, termasuk Kantor Bupati Banjar. Sebagian besar karyawan datang ke Sekumpul untuk memberikan penghormatan
terakhir. Sebelum dimakamkan di kompleks pemakaman keluarga di dekat Mushalla Ar Raudhah, Rabu sore sekitar pukul 16.00,
warga masyarakat yang datang diberikan kesempatan untuk melakukan salat jenazah secara bergantian. Kegiatan ibadah ini
berpusat di Mushalla Ar Raudhah, Sekumpul, yang selama ini dijadikan tempat pengajian oleh Guru Sekumpul.
Petuah
Meski memiliki karamah, beliau selalu berpesan agar kita jangan sampai tertipu dengan segala keanehan dan keunikan. Karena
bagaimanapun juga karamah adalah anugrah, murni pemberian, bukan suatu keahlian atau skill. Karena itu jangan pernah
berpikir atau berniat untuk mendapatkan karamah dengan melakukan ibadah atau wiridan-wiridan. Dan karamah yang paling
mulia dan tinggi nilainya adalah istiqamah di jalan Allah itu sendiri. Kalau ada orang mengaku sendiri punya karamah tapi
salatnya tidak karuan, maka itu bukan karamah, tapi bakarmi (orang yang keluar sesuatu dari duburnya).
Guru Sekumpul juga sempat memberikan beberapa pesan kepada seluruh masyarakat Islam, yakni:
Menghormati ulama dan orang tua
Baik sangka terhadap muslimin
Murah harta
Manis muka
Jangan menyakiti orang lain
Mengampunkan kesalahan orang lain
Jangan bermusuh-musuhan
Jangan tamak atau serakah
Berpegang kepada Allah, pada kabul segala hajat
Yakin keselamatan itu pada kebenaran.
Seputar Nasab Beliau
Beliau sering disebut-sebut sebagai Habib keturunan Rasulullah, padahal beliau sendiri tidak pernah menambahkan dibelakang
nama beliau dengan fam tertentu. Lalu darimana isyu tersebut?, mari kita telusuri nasab beliau.
K H. Muhammad Zaini
Abdul Ghani
H Abdul Manaf
Muhammad Seman
H M. Sa’ad
H. Abdullah
Mufti H. M. Khalid
Khalifah H. Hasanuddin
Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari
Sampai disini, tidak ada perbedaan karena memang diingat, dicatat, dan dijaga dengan baik oleh Guru Sekumpul serta
keluarga beliau. Perbedaan terjadi ketika kita meneliti nasab dari Sekh Muhammad Arsyad Al Banjari yang merupakan tokoh
Islam terbesar di bumi Banjar.
Ada beberapa versi catatan nasab Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari, ada yang mengatakan lima versi, namun yang saya temukan
hanya dua dan itupun masih dalam versi yang sama karena yang kedua tidak jauh beda dengan yang pertama, hanya ketinggalan
2 orang, mungkin kesalahan penyalinan saja.
Pertama, catatan dari 3 kitab, yaitu: Syajaratul Arsyadiyah, Syeikh Muhammad Arsyad Al Banjari Pengarang Sabilal
Muhtadin, dan Maulana Syeik Muhammad Arsyad Al Banjari. Yaitu sebagai beikut:
Muhammad Arsyad Al Banjari
Abdullah
Abu Bakar
Sultan Abdurrasyid Mindanao
Abdullah
Abu Bakar Al Hindi
Ahmad Ash Shalaibiyyah
Husein
Abdullah
Syaikh
Abdullah Al Idrus Al Akbar (datuk seluruh keluarga Al Aidrus)
Abu Bakar As Sakran
Abdurrahman As Saqaf
Muhammad Maula Dawilah
Ali Maula Ad Dark
Alwi Al Ghoyyur
Muhammad Al Faqih Muqaddam
Ali Faqih Nuruddin
Muhammad Shahib Mirbath
Ali Khaliqul Qassam
Alwi
Muhammad Maula Shama’ah
Alawi Abi Sadah
Ubaidillah
Imam Ahmad Al Muhajir
Imam Isa Ar Rumi
Al Imam Muhammad An Naqib
Al Imam Ali Uraidhy
Al Imam Ja’far As Shadiq
Al Imam Muhammad Al Baqir
Al Imam Ali Zainal Abidin
Al Imam Sayyidina Husein
Al Imam Amirul Mu’minin Ali Karamallah wajhah wa Sayyidah Fatimah Az Zahra
Rasulullah SAW[1]
Kedua, terdapat pada kitab yang dikarang oleh seseorang tanpa nama dengan judul Silsilah Siti Fatimah, sebagai berikut:
Muhammad Arsyad Al Banjari
Abdullah
Abu Bakar
Abdurrasyid
Abdullah al-Idrus al-Magribi
Abu Bakar al-Hindi
Ahmad
Husin
Abdullah
Syaikh
Abdullah Al-Idrus
Abu Bakar as-Sakrani
Abdurrahman as-Saqafi
Maulana Ad-Duwailah
Ali
Alwi
al-Faqih al-Muqaddam Muhammad
Ali Khala Qasim
Alwi
Muhammad
Alwi
Abdullah
Ahmad al-Muhajir lillah
Isa an-Naqib
Muhammad an-Naqib
Ali al-Arid
Ja’far as-Sadiq
Muhammad al-Baqir
Ali Zainal Abidin
Sayyidina Husin
Sayyidina Ali dan Sayyidina Fatimah az-Zahra
Sayyidina Muhammad SAW.[2]
Kedua versi silsilah/nasab diatas sama saja, hanya saja pada silsilah kedua ada yang terlewatkan dan saya tidak tahu
apakah itu kesalahan M. Rusydi yang menyalin atau memang dari kitab Silsilah Siti Fatimah-nya. Pada catatan nasab yang
kedua tidak ada Ali Faqih Nuruddin dan Muhammad Shahib Mirbath yang pada nasab pertama berada di nomor 18 dan 19.
Perbedaan lainnya terdapat pada penulisan nama. Ada dua nama yang berbeda namun orang tua (bin)nya sama, yaitu Ubaidillah
Bin Ahmad Al Muhajir dan Isa Arrumi Bin Muhammad Annaqib
Pada catatan nasab pertama tertulis Ubaidillah (nomor 24) sementara pada catatan nasab yang kedua tertulis Abdullah
(nomor 22)
Pada catatan nasab pertama tertulis Isa Arrumi (nomor 26) sementara pada catatan nasab yang kedua tertulis Isa an-
Naqib (nomor 24)
Saya tidak bisa mengetahui secara pasti apakah kedua nama itu orang yang sama, hanya kekeliruan penulisan saja atau
memang orang yang berbeda.
Perbedaan-perbedaan pada catatan nasab tersebut mungkin hanya kesalahan penyalinan saja, yang jelas kedua nasab tersebut
membenarkan bahwa Muhammad Arsyad Al Banjari adalah seorang keturunan Rasulullah, yang secara otomatis menyatakan bahwa
yang mulia Guru Sekumpul juga seorang habib ber fam Al-Idrus (Al-Aydrus).
Lalu mengapa Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari tidak menyertakan fam Al-Idrus (Al-Aydrus) dibelakang nama beliau?.
Keterangan yang saya dengar langsung dari Guru Sekumpul dalam pengajian beliau, bahwa penyembunyian Nasab itu bertujuan
untuk menghindari penjajah Belanda yang katanya pada waktu itu mengincar setiap orang yang didirinya mengalir darah
Rasulullah.
[1] (1). Syajaratul Arsyadiyah, Mathba’ah Ahmadiyah Singapura, oleh Abd Rahman Shiddiq (Tuan Guru Sapat, Mufti Kesultanan
Indragiri) Cetakan I. Tahun 1356 H. (2). Syeikh Muhammad Arsyad Al Banjari Pengarang Sabilal Muhtadin, oleh Abdullah Hj W.
Moh. Shagir, Khazanah Fathaniyah, Kuala Lumpur, Tahun 1990. (3). Maulana Syeik Muhammad Arsyad Al Banjari, oleh Abu Daudi,
Dalam Pagar, Martapura. Cetakan Tahun 1980, 1996, dan 2003. — Saya tidak membaca langsung dari ketiga kitab tersebut,
hanya menyalin dari Wikipedia —
[2] Tanpa Nama, Silsilah Siti Fatimah (Salatiga: tanpa penerbit, 1992) 1. Dalam “THE INFLUENCE OF MUHAMMAD ARSYAD AL-
BANJARI ON THE RELIGIOSITY OF BANJARESE SOCIETY” oleh M. Rusydi (Alumni UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)
Sumber : http://arisandi.com/
Komentar