Sultan Khairul: Pertambangan Masih Abu-abu

MARTAPURA - Bupati Banjar, Yang Mulia Sultan Haji Khairul Saleh menilai, kebijakan pusat terkait pertambangan masih abu-abu, di mana diharapkan daerah, pertambangan

bisa lebih memakmurkan daerah, justru lebih banyak dinikmati pusat. Selain itu, peran pemerintah daerah untuk ikut mengawasi tonase justru dipangkas oleh Dirjen Minerba Kementerian Pertambangan dan Energi.

"Ibaratnya, hasil daerah kita sendiri, justru kita tak bisa banyak mengetahui berapa banyak yang keluar. Sebab, pengusaha pertambangan baik dalam melaporkan tonase maupun royaltinya langsung ke pusat," ujar Sultan Khairul kepada Mata Banua, Rabu (9/10).

Menurutnya, aspek penting dalam pertambangan mesti diperhatikan. Kalau tidak justru pelan-pelan mematikan pengusaha pertambangan. Di Kabupaten Banjar saja, dari
32 IUP cuma tujuh yang masih aktif. Aspek good mining practice, lanjutnya, salah satunya memberikan keuntungan yg memadai bagi investor, benefit bagi investor.

Disebutkan, praktik sekarang, penyetoran royalti memakai sistem self assesment yaitu pemegang IUP menyetor sendiri ke rekening Kas Negara Iuran Tetap. Dari 13 persen

yang disetor pengusaha, 6 pusat untuk pusat, 7 persen ke daerah provinsi. Dari 7 persen diambil provinsi 40 persen, kemudian daerah penghasil 50 persen dan 10 persen

untuk kabupaten/kota se-provinsi. "Jadi dari formulasi tersebut, daerah penghasil riil menerima 2,1 persen dari total 13 persen royalti," jelas Sultan Khairul.

Selanjutnya, dari data pembayaran royalti berdasarkan bukti setor, terlihat pengawasan kurang optimal, karena adanya surat edaran Dirjend Mineral dan Batubara No

2e/30/dub/2012 tentang, larangan rekomendasi SKAB. Padahal SKAB adalah alat kontrol produksi, pengiriman dan penjualan batubara.

Menyikapi hal yang kurang menguntungkan bagi daerah itu, maka Bupati Banjar, Sultan Khairul Saleh mengeluarkan Perbup No 34 Tahun 2013 tentang, Pengawasan pengiriman

dan penjualan komonitas tambang. Sehingga data produksi dan royalti akurat.

Memperhatikan peraturan perundangan-undangan yang berkaitan dengan pertambangan, kebijakan pertambangan secara umum masih bersifat sentralistik. Peran pemeritah dalam

hal ini kementerian ESDM sangat dominan, yaitu mulai kewenangan menetapkan Wilayah Pertambangan (WP), Wilayah Usaha Pertambangan (WUP) dan Wilayah Izin Usaha

Pertambangan sampai pada pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pengelolaan usaha pertambangan Namun demikian besarnya kewenangan pemerintah tersebut belum

sepenuhnya dilaksanakan sesuai peraturan. Sampai saat ini Kabupaten Banjar khususnya atau Regional Kalimantan umumnya belum memiliki penetapan WP, WUP dan WIUP yang

menjadi dasar kegiatan pertambangan sesuai amanat UU Nomor 4 Tahun 2009.

Bukan itu saja, bahan dasar penyusunan WP seperti diatur dalam P 22 Tahun 2010 yang berupa peta geologi hasil penyelidikan dan penelitian pun belum ada. Akibatnya,

pemerintah daerah yang mendapat ekses negatifnya tak terkecuali Pemerintah Kabupaten Banjar. Disis lain, kebijakan pemerintah juga sering berubah-ubah. Hanya dengan

Surat Edaran Menteri nomor 02.E/30/DJB/2012 tentang SKAB, pada tahun 2012 pemerintah pernah melarang pemda untuk menerbitkan SKAB (Surat Keterangan Asal Barang).

Dengan adanya SE tersebut, otomatis tidak ada lagi peran pemda dalam hal ini Kabupaten Banjar untuk mengawasi produksi dan penjualan batubara di wilayahnya, apalagi

banyak pengusaha tambang yang tidak menyampaikan ke Distamben Kabupaten Banjar atas jumlah produksi dan bukti pembayaran royalti ke pemerintah. Lalu ketika terjadi

selisih produksi dan pembayaran seperti temuan BPKP, tentu bukan Kabupaten Banjar yang diuntungkan karena uang royalti langsung di setorkan oleh pengusaha tambang ke

rekening pemerintah. Dengan adanya selisih tersebut, malah Kabupaten Banjar yang dirugikan karena berkurangnya dana bagi hasil tambang yang harusnya masuk Kas Daerah.

Oleh karena itu Pemerintah Kabupaten Banjar menerbitkan Peraturan Bupati Nomor 34 Tahun 2012 tentang Pengawasan Pengiriman dan Penjualan Komoditas Tambang, tujuannya

adalah untuk menghindari terjadinya selisih produksi penjualan dan pembayaran royalti.

Kelemahan dalam pengawasan pertambangan juga dikarenakan peran pembinaan dan pengawasan pemerintah atas penyelenggaraan tambang masih belum optimal. Hal ini terlihat

dengan tidak banyaknya pejabat fungsional seperti Inspektur Tambang dan Pejabat Pengawas yang seharusnya diangkat oleh Dirjen Minerba untuk membantu pemda dalam

melakukan pengawasan pertambangan. Padahal pemerintah memiliki dana pembinaan yang disisihkan dari dana bagi hasil. Lalu untuk apa dana pembinaan selama ini digunakan

? Sebagai lembaga yang kredibel dengan dukungan SDM yang profesional, dapat diyakini bahwa pendalaman KPK atas hasil semiloka Koordinasi Supervisi Pencegahan Korupsi

akan lebih pada konteks mengapa pemerintah belum sepenuhnya melaksanakan amanat peraturan perundang-undangan membawa ekses negatif di semua daerah penghasil sumber

daya alam sekaligus merugikan daerah baik dari sisi penerimaan dana bagi hasil. adi

Komentar