NE Jadi Tersangka, LKBH Korpri Banjar Peduli

MARTAPURA - Kasus dugaan korupsi proyek pengadaan mesin balok es dan pengerjaan bengkel
Pelabuhan Pendarataan Ikan (PPI) di Kecamatan Aluh-Aluh, Kabupaten Banjar kembali bergolak.
Salah satu pejabat senior di Pemkab Banjar, NE sudah dijadikan tersangka sejak 4 Maret lalu oleh Kejari Martapura. Namun, Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) Korpri Banjar tetap peduli kepada anggotanya yang terlibat kasus hukum.
Ketua LKBH Korpri Banjar, Dr Hary Supriadi yang juga salah satu Asisten Setda Banjar awal pekan ini mengatakan, NE memang belum meminta bantuan pihaknya, namun pada prinsipnya, setiap anggota Korpri yang terlibat kasus hukum, bisa diberi bentuan hukum.

"Misalnya beliau memerlukan bantuan dana untuk menyewa pengacara, kita bisa memberikan bantuan. Meski tak banyak tentunya diharap dapat meringankan beban beliau," ujar Hary.

Sementara Kepala Badan Perencana Pembangunan Daerah (Bappeda) Banjar Rusdi ST MT, NE selepas
dari Dinas Perikanan dan Kelautan Banjar, hampir setahun ini menjadi pejabat fungsional di Bappeda Banjar.
"Beliau rajin ngantor. Cuma beberapa hari terakhir sepertinya harus konsentrasi menghadapi kasusnya. Kita tentunya prihatin dengan apa yang menimpa beliau. Kita hanya cuma bisa memberikan dukungan doa dan moril," ungkap Rusdi.

NE yang adalah pengguna anggaran (PA) dalam proyek senilai Rp5 miliar untuk pengadaan mesin balok es, pembangunan bengkel dan sarana prasarana pendukung Pelabuhan Pendaratan Ikan (PPI) Aluh-Aluh, bersama BR, sang kontraktor ditetapkan sebagai tersangka. Mereka berdua menyusul Nur Hayati, pejabat pembuat komitmen (PPK) di Dinas Perikanan dan Kelautan Banjar yang kini menjadi terdakwa dalam kasus yang sama. 

Hanya saja, BR tiga kali pemanggilan mangkir, dan oleh Kejari Martapura ditetapkan sebagai buronan. Penetapan buron untuk tersangka BR disampaikan oleh Kasi Pidsus Kejari Martapura, Tri Yulianto SH didampingi dua staf penyidik Budi Mukhlis SH MHum dan Tri Taruna SH dalam jumpa pers dengan wartawan, akhir pekan tadi. Menurut Tri, mereka cukup bukti menetapkan BR yang adalah kuasa direktur CV Asya dan CV Lutfiana Meydatama selaku pelaksana pengadaan dan pengerjaan proyek, di mana proyek sendiri anggarannya senilai kurang lebih Rp5 miliar.

Sementara nilai kerugian dari kasus ini menurut BPKP Kalselteng senilai Rp289 juta. BR yang berusia 40 tahun adalah warga Jl Melati, Bati-Bati, Tanah Laut dikenakan pasal 2 (primer) dan pasal 3 (subsider) UU Tipikor serta Jo pasal 55 KUHP. Pasal yang sama juga disematkan ke NE.

Kasus ini muncul setelah ada dugaan penyimpangan pembayaran proyek sebesar 100 persen sementara kondisi proyek di lapangan masih 70 persen. Dalam laporan fiktif, pada 15 Desember 2011 lalu, kontiner barang kelengkapan pabrik es dan bengkel datang di Pelabuhan Trisakti.

Faktanya, sebagaimana berita acara serah terima kontiner, pada 15 Desember 2011 itu, kontiner telah tiba di Aluh-Aluh, Kecamatan Aluh-Aluh. Bahkan, selain kontiner yang tiba tanggal itu di Trisakti, sebagian barang ada lagi datang ke Trisakti setelah tanggal tersebut.

Penyimpangan proyek di 2011 ini, terutama pada pembuatan pabrik dan pengadaan peralatan pendukungnya sejumlah 51 item, meski ada juga pembuatan jalan lingkungan seputar pabrik. Proyek dikalkulasi hanya selesai sekitar 40 hingga 50 persen saja, namun keuangan proyek yang dikucurkan ke kontraktor diduga mencapai 70  persen lebih.

Nur Hayati mengakui kalau ia jarang melihat langsung pengerjaan proyek di lapangan. Ia hanya sering terlibat komunikasi via telepon dengan seseorang berinisial RN yang mengaku staf dari kontraktor berinisial BR. Dalam perkembangan di pengadilan, ujar Tri, Nur Hayati membayar pekerjaan setelah ada perintah dari NE. adi

Komentar