Parlin Merasa Dizalimi, Sehingga Pasal 197 KUHAP Diuji di MK


BANJARMASIN - Polemik pasal 197 KUHAP segera menemui titik akhir, setelah kuasa hukum Parlin Riduansyah, Dirut PT Satui Bara Tama (SBT), yakni Yusril Ihza Mahendra dan H Fikri Chairman meminta uji materi pasal tersebut ke Mahkamah Konstitusi (MK) di Jakarta. Bahkan, MK mulai menggelar sidang lanjutan uji materi pasal 197 Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang diajukan oleh Parlin melalui kuasa hukumnya itu.
    Yusril Dkk sebagai pemohon menghadirkan para ahli hukum, yakni  Prof Romli Atmasasmita,  Prof Tahir Azhary,  Prof Edward Omar Sharief Hiariej,  Dr Mudzakkir serta, Prof Dr M Yahya Harahap SH. Saksi ahli  pemohon, Yahya Harahap menerangkan, putusan pemidanaan yang tidak memuat ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf k Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP) dalam amar putusan pengadilan, menurut Pasal 197 ayat (2) KUHAP adalah batal yang bersifat absolute atau mutlak.
    “Menurut saya, putusan itu sejak semula tidak sah karena bertentangan dengan undang-undang,” kata mantan Hakim Agung itu, di ruang sidang MK, baru-baru ini.       
Ia menilai, putusan PK No. 157 PK/Pid.Sus/2011 yang tidak mengkoreksi atau meluruskan putusan kasasi No. 1444/Pid.Sus/2010 yang tidak memuat perintah penahanan merupakan putusan yang batal secara mutlak, sehingga tidak melekat kekuatan eksekutorial.
    Dikatakan, semestinya, putusan PK memperbaiki putusan kasasi dengan menyatakan, mengadili sendiri dengan membatalkan putusan kasasi No. 1444. Ini sesuai yurisprudensi putusan MA No 169 K/Pid/1988. Batalnya putusan pengadilan yang bersifat mutlak ini terlepas apakah itu putusan tingkat pertama, banding, atau kasasi seperti dalam putusan kasasi No. 1444 dianggap sebagai putusan yang tidak sah dan tidak pernah ada, sehingga tidak memiliki kekuatan daya hukum mengikat (eksekutorial) kepada terpidana Parlin.     
    Yahya membeberkan, jika jaksa tetap mengeksekusi putusan yang batal demi hukum ini berarti jaksa telah bertindak sewenang-wenang, inkonstitusional, dan melanggar HAM karena bertentangan dengan UUD 1945. “Eksekusi terhadap putusan yang batal demi hukum nyata-nyata melanggar pilar negara hukum karena melanggar Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), pasal 28J ayat (1) UUD 1945.
    Sementara itu, anggota Komisi III DPR, Syarifuddin Suding mengatakan, permasalahan pasal 197 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sudah pernah dibahas di DPR RI. Bahkan, dalam rapat kerja dengan Kejaksaan Agung, Komisi III berkali-kali mendesak Kejagung agar memperhatikan putusan eksekusi yang tidak sesuai dengan Pasal 197 ayat (1) dan (2)  KUHAP.  "Dalam kaitan pasal 197 KUHAP, persoalan ini sudah di bahas di DPR saat raker Komisi III dengan Kejagung," cetusnya.
    Sebagaimana diketahui, Parlin divonis tiga tahun penjara dalam kasus dugaan tindak pidana kehutanan tanpa izin menteri  atas eksploitasi lahan tambang batubara di kawasan hutan di Kecamatan Satui, Kabupaten Tanah Bumbu, lewat putusan PK No. 157 PK/Pid.Sus/2011 tertanggal 16 September 2011 yang sebelumnya di tingkat pertama dinyatakan bebas murni. Yusril menolak eksekusi dengan dalih tidak memenuhi syarat formal Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP, yakni amar putusan tidak memuat perintah penahanan. adi/mb05

Komentar