Jaksa Agung Ikuti KUHAP


JAKARTA - Jaksa Agung RI Basrief Arief, Jumat (11/5) akhir pekan lalu di Kejaksaan Agung RI, akhirnya melontarkan stetmen mengenai putusan kontroversi, putusan batal demi hukum. Menurutnya, kejaksaan akan mengikuti aturan KUHAP yang sudah sangat jelas acuan dan langkah akhir yang harus diambil jajarannya.
    “Kejaksaan akan mengikuti aturan KUHAP, karena menurut aturan KUHAP sudah sangat jelas di dalamnya, sebagaimana pasal 197 ayat 1 KUHAP tentang syarat formal pemidanaan, dimana setiap putusan-putusan pengadilan yang tak sesuai dengan pasal tersebut, maka dinyatakan putusan tersebut batal demi hukum,” urai Basrief usai melaksanakan sholat Jumat di hadapan wartawan.
    Dengan kejelasan ini, lanjutnya, dirinya tak perlu lagi mengeluarkan surat edaran soal ketentuan eksekusi, karena seluruh jaksa sudah dipastikan akan sangat memahami apa yang tertuang dalam KUHAP tersebut, karena undang-undang sudah sangat jelas dan tegas, dan tidak perlu lagi penafsiran lain.
    Hal senada juga sempat dilontarkan Jaksa Agung Muda Pengawas (Jamwas) Marwan Effendy. Memang Marwan sempat mengusulkan agar diterbitkan surat edaran tidak melakukan eksekusi putusan batal demi hukum, dengan maksud agar setiap jaksa di setiap daerah memiliki pegangan saat tidak melaksanakan eksekusi apabila menerima putusan batal demi hukum.
    Dijelaskannya, setiap putusan yang dikeluarkan MA tak lantas dapat dilakukan eksekusi, apalagi putusan MA yang batal demi hukum karena di dalamnya tidak mengandung perintah untuk eksekusi. Dari segi institusi, memang surat edaran ini sangat diperlukan, agar setiap putusan yang batal demi hukum yang sifatnya non eksekutorial, tidak dijalankan demi prinsip dan keadilan.
    Sementara itu di waktu yang bersamaan, Sekretaris Jenderal (Sekjen) Asosiasi Advokat Indonesia Jhonson Pandjaitan,  mendukung usul Jamwas tersebut. Karena menurutnya Jaksa Agung memang harus berani mengambil sikap mengenai ketentuan dalam pasal 197 ayat 1 KUHAp tersebut. “Karena putusan yang batal demi hukum ini menyangkut nasib orang yang menjadi korban ketidak adilan,” ungkap Jhonson.
    Salah satu ‘korban’ dari sekian banyak ‘korban’ dari ketidakjelasan MA dalam mengeluarkan putusan yakni terkait kasus yang menimpa H Parlin Riduansyah, Dirut PT Satui Bara Tama. “Ini salah satu contoh kasus yang putusan MA-nya batal demi hukum, dan jaksa tidak dapat melakukan eksekusi. Yang sangat disayangkan, salah satu elemen di Kejakgung secara ‘diam-diam’ diduga menerbitkan surat perintah eksekusi Parlin. Ini sudah tidak benar, karena jangan sampai terjadi ada aparat hukum yang melakukan pelanggaran hukum dengan tetap mengeksekusi putusan batal demi hukum seperti yang sudah tertuang dalam Undang-Undang, dalam hal ini pasal 197 KUHAP,” terang Jhonson.
    Apabila memang memaksakan eksekusi putusan batal demi hukum yang tidak memenuhi syarat formal pemidanaan menurut KUHAP, menurut Ketua Komisi III DPR RI Benny K Harman merupakan kejahatan dan pelanggaran Hak Azasi Manusia (HAM). “Jamwas harus terus mengawasi hal ini,” tegas Benny beberapa waktu lalu.
    Selain pelanggaran HAM, seperti yang pernah disampaikan pakar hukum dan mantan wakil Ketua MA Prof Dr M Yahya Harahap SH, pemaksaan eksekusi putusan yang batal demi hukum atau putusan yang tidak memenuhi  syarat formal pemidanaan, adalah tindakan inkonstitusional.
    Namun kalau langkah terakhir yang diambil Jaksa Agung yang tetap mengedepankan KUHAP dalam putusan batal demi hukum, Yahya sangat mengapresiasinya dan mendukung langkah tersebut karena sudah sangat tepat Jaksa Agung menempatkan undang-undang di atas segala-galanya, dalam hal ini adalah KUHAP itu sendiri. Dalam hal ini, Jaksa Agung pun dipastikan sangat mengerti bahwa institusinya memang tidak memiliki hak konstitusional dalam merobah ataupun meniadakan pasal 197 ayat 1 dan 2 KUHAP, karena memang kewenangan tersebut hanya hak badan legislatif dalam hal ini adalah DPR RI. rls/adi

Komentar