Yusril: Tak Perlu Minta Fatwa Ke MA

JAKARTA - Prof Dr Yusril Ihza Mahendra SH MSc ini, memang intens mengamati sederet putusan MA yang dalam pelaksanaan eksekusinya didapati banyak kejanggalan, bukan hanya terletak pada putusan MA yang memerintahkan kejaksaan melaksanakan eksekusi dalam konteks menangkap dan menahan, namun juga dicermati pada putusan MA yang memerintahkan eksekusi terhadap putusan-putusan bebas yang kadang seperti ‘dipersulit’ (baca; mandeg) untuk dilaksanakan kejaksaan.
Topik yang lebih menarik lagi, dari setiap putusan final MA tersebut, kejaksaan terus melakukan upaya lainnya seperti meminta fatwa kembali ke MA. “Fatwa?. ‘Haram’ hukumnya kalau kejaksaan tetap berupaya mengajukan fatwa, toh undang-undangnya sudah jelas, tidak perlu lagi penafsiran macam-macam, apalagi sampai harus meminta fatwa. Apapun putusan yang dikeluarkan MA, itu sudah final!,” tegasnya sembari mengingatkan kalaupun tetap meminta fatwa, fatwa juga tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Upaya-upaya seperti itu menurut mantan Menkum-HAM dan Mensesneg ini, membuat seluruh aparat penegak hukum seperti memiliki sifat presiden belakangan. “Penegak hukum ikut-ikutan SBY, semakin ngga jelas. Sebagai penegak hukum mestinya harus tegas,” sindirnya.
Terlebih lagi untuk putusan-putusan yang batal demi hukum lantaran di tingkat kasasi kejaksaan ke MA, tidak memenuhi syarat formal pemidanaan seperti yang tercantum pada pasal 197 ayat 1 huruf k KUHAP, yang bisa dipastikan dalam ayat 2 tidak bisa dieksekusi lantaran tidak terpenuhi pada ayat 1 tadi. “Bahwa suatu putusan dari tingkat PN, PT, hingga MA yang tidak memenuhi syarat formal pemidanaan seperti terangkum dalam pasal 197 ayat 1 dan ayat 2 KUHAP, itu adalah batal demi hukum, walaupun itu hanya 1 poin ketentuan dari pasal itu tidak terpenuhi dari huruf a sampai huruf l, tetap batal demi hukum. Dengan demikian sekali lagi saya ingatkan, tidak perlu lagi fatwa, dan jaksa harus mengikuti aturan yang telah diatur dalam undang-undang tersebut,” pesannya.
“Dan permintaan kepada MA seperti itu menjadi subjektif dan tidak pada tempatnya. Karena yang melaksanakan ketentuan pasal 197 itu adalah pengadilan termasuk MA. Kalau memang tidak memenuhi syarat formal pemidanaan, itu merupakan kesalahan MA sendiri. Jadi bagaimana mungkin kejaksaan meminta fatwa kepada yang membuat kesalahan. Jadi sekali lagi, tidak ada alasan apapun untuk meminta fatwa,” tambahnya.
Lalu bagaimana nasib terpidana yang menjadi ‘korban permainan’ hukum seperti ini?. “Terpidana cukup meminta surat pernyataan kepada MA bahwa putusan tersebut batal demi hukum,” sarannya.
Ditanya soal upaya kasasi JPU ke MA terhadap putusan bebas seseorang yang melanggar pasal 244 KUHAP, Yusril menilainya itu memang suatu pelanggaran. “Saya berani uji materi pasal 244 KUHAP dan bisa dipastikan kalau upaya kasasi memang ‘menabrak’ pasal tersebut. Begitu juga pasal 263 KUHAP yang telah menegaskan bahwa jaksa juga tidak boleh melakukan upaya PK. Kalau saya fokuskan, sederet kejanggalan ini muncul, telah menunjukan bahwa aparat penegak hukum tidak mau menghormati putusan-putusan bebas murni,” beber pria kelahiran Bangka Belitung 56 tahun silam ini.
Hal senada juga pernah dilontarkan Pakar Hukum Pidana Prof Dr Andi Hamzah SH. Ia mengatakan upaya Kejagung melalui Jaksa Penuntut Umum dengan tetap melakukan kasasi atas kasus yang diputus bebas murni telah melanggar Pasal 244 KUHAP. "Entah karena ada alasan tertentu, ada main atau apapun alasannya, tidak bisa diajukan kasasi terhadap sebuah putusan bebas. KUHAP sangat jelas mengaturnya," tegas Hamzah.
Hamzah memberikan contoh, ketika ia masih menjadi jaksa di tahun 50-an hingga 60-an, tak satupun upaya kasasi dilakukan terhadap putusan bebas. "Sebagai penegak hukum sudah seharusnya malu menegakkan hukum dengan cara-cara yang justru melanggar aturan yang mengkoridorinya," kata Hamzah. rls/web/adi

Komentar