JAKARTA - Suasana Rapat Kerja (Raker) Komisi III DPR RI bersama jajaran Kejaksaan Agung RI, Rabu (28/3) lalu
dengan salah satu poin agenda soal eksekusi putusan inkrah di MA yang banyak tidak dilaksanakan, mengundang tanda
tanya besar di saat ‘vokalis’ Fraksi Partai Golkar, Bambang Susetyo terkesan ‘mengintervensi’ Jaksa Agung Basrif
Arief seputar pelaksanaan eksekusi putusan MA atas nama H Parlin Riduansyah, yang menurutnya harus ditahan selama
3 tahun dan dimasukan daftar cekal. Padahal tanpa diketahui Bambang, putusan MA itu adalah menolak PK namun
mengabulkan putusan bebas murni Pengadilan Negeri (judex factie) Banjarmasin untuk Parlin.
“Salah satu pengusaha di Kalsel H Parlin yang saat ini sudah keluar putusan Mahkamah Agung yang menolak upaya
PK-nya, kenapa belum juga dieksekusi kejaksaan?. Saya juga ingin menanyakan, bagaimana pula mengenai status
cekalnya?, soalnya yang bersangkutan sering bepergian keluar negeri,” lontar Bambang kepada Basrif.
Entah pertanyaan-pertanyaan seputar perkara H Parlin itu berdasarkan ‘pesanan’ seseorang atau terkait langsung
dengan pribadi Bambang sendiri, Basrif yang didampingi seluruh jajarannya mulai dari JAM Pidsus, JAM Was, JAM
Pidum, JAM Bin, dan pejabat teras Kejaksaan Agung lainnya, dengan terperinci menjawab pertanyaan Bambang tersebut
setelah mendengarkan pertanyaan-pertanyaan dari 8 fraksi lainnya di Komisi III. “Untuk perkara yang disebutkan
pak Bambang tadi di wilayah Kalsel atas nama Parlin, sudah ada surat-surat yang masuk ke kami soal putusan MA itu
baik dari pengacaranya maupun dari Kejaksaan Tinggi Kalsel. Dalam surat yang kami terima itu, ada menerangkan
soal putusan di tingkat kasasi tidak memenuhi syarat formal pemidanaan pasal 197 KUHAP, termasuk juga yang
bersangkutan belum pernah ditahan selama proses pasca putusan PN Banjarmasin berjalan selama tiga tahun yang bisa
berakibat gugur demi hukum. Dan kini perkembangan terakhir adalah adanya permintaan fatwa ke MA dari Kejati
Kalsel melalui kami Jaksa Agung, namun hal ini masih kami pelajari dulu dan masih diperlukan investigasi mengenai
rencana permohonan fatwa itu,” papar Basrif.
Namun secara tiba-tiba, Bambang yang tengah sibuk dengan Blackberry di tangannya, langsung memotong penjelasan
Jaksa Agung dengan melontarkan interupsi yang disinyalir dilontarkannya setelah mendengar penjelasan hukum secara
umum oleh Basrif soal gugur demi hukum. “Interupsi Ketua (Ketua Komisi III Benny K Harman,red), begini pak Jaksa
Agung, baru saja saya mendapat informasi dari Polda Kalsel kalau Parlin pernah ditahan 13 hari, jadi tidak ada
alasan bagi kejaksaan untuk tidak melaksanakan eksekusi penahanan,” sanggahnya seperti ngotot soal penahanan,
padahal dalam putusan MA sudah sangat jelas mengabulkan putusan judex factie (PN Banjarmasin,red) yang menyatakan
Parlin bebas murni.
Apa yang dipaparkan Jaksa Agung tadi sebenarnya sudah sangat gampang dicerna, namun karena tiba-tiba dipotong,
membuat dahi Basrif berkerut mendegar sanggahan Bambang tadi. “Ya, ini akan kami pelajari juga dan menurut saya
ini tidak ada masalah. Karena jaksa adalah pelaksana keputusan hakim, apapun isi dari putusan MA itu, pasti akan
kita laksanakan. Saat ini mungkin upaya satu-satunya dari kejaksaan hanya fatwa ke MA, namun sekali lagi hal ini
harus dipelajari dan diinvestigasi dulu kenapa sampai muncul upaya seperti ini,” jawab Basrif.
Ketua Komisi III Benny K Harman yang memimpin raker, secara bijak langsung angkat bicara dan ditujukan langsung
ke Bambang. “Tadi sudah dijelaskan pak Jaksa Agung, kalau di tingkat putusan kasasi, pasal 197 KUHAP saja tidak
terpenuhi, kesimpulannya batal demi hukum, tidak perlu lagi dilanjutkan. Tapi yang saya tangkap, pihak kejaksaan
tetap berupaya untuk memohon fatwa ke MA untuk melaksanakan eksekusi. Menurut saya kalau pasal 197 saja tidak
dipenuhi dan batal demi hukum, dan demi hukum juga pihak kejaksaan harus membebaskan orang (Parlin,red) itu,
tidak perlu lagi memaksakan mencari upaya-upaya lain sepeti fatwa, bebaskan saja,” tegasnya.
Dalam raker ini, lanjut Benny, memang mengakomodir laporan-laporan masyarakat atas kinerja institusi kejaksaan,
yang dititik beratkan pada pelaksanaan putusan-putusan pengadilan dan MA yang inckrach (berkekuatan hukum tetap)
namun tidak dieksekusi. “Dan saya minta agar keadilan harus sungguh-sungguh diberikan kepada para pencari
keadilan,” pintanya kepada Jaksa Agung.
“Dan melalui Komisi III inilah, kepada seluruh rakyat yang mendapat keadilan di ‘atas kertas’, namun pelaksanaan
eksekusinya tidak dilaksanakan kejaksaan, bisa segera melaporkannya ke kami,” tambah Benny yang akan
mengaggendakan kembali dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) tanggal 7 Mei 2012 guna memperdalam masalah eksekusi
tersebut.
Dari apa yang disampaikan Benny, seperti kembali menyiratkan kepada setiap anggota Komisi III, fungsi tugasnya
adalah sebagai pengawas seluruh institusi hukum di Indonesia agar tidak salah langkah dalam menegakkan hukum itu
sendiri. Namun dari suasana di dalam raker tersebut, memang terkesan memunculkan intervensi-intervensi atas kasus
per kasus. Ironisnya, dari beberapa anggota Komisi III, terdapat oknum anggota yang tidak memiliki latar
pendidikan hukum, berupaya ‘menekan’ seorang Jaksa Agung untuk mengambil langkah yang cenderung melakukan
pelanggaran hukum. Contohnya seperti adanya indikasi memaksakan eksekusi terhadap putusan yang batal demi hukum.
Hal ini sudah sangat melenceng dari fungsi tugas anggota Komisi III, yang seyogyanya mengakomodir fakta-fakta
‘kedzholiman’ hukum yang dirasakan rakyat pencari keadilan.
Sorotan tajam atas kinerja di korps Adhyaksa ini juga dilontarkan Ahmad Yani dari Fraksi PPP. “Kejanggalan demi
kejanggalan proses eksekusi yang tidak dilaksanakan, memunculkan aroma ‘busuk’ dalam proses penegakkan hukum,”
sindirnya.
Hal senada juga disampaikan Syarifuddin Suding dari Fraksi Partai Hanura. “Soal eksekusi yang tidak dilaksanakan,
sudah banyak masuk ke kami, mulai di tingkat kasasi, PK, bahkan hingga ke grasi presiden yang ditolak. Kami
‘menangkap’ adanya oknum-oknum di Kejagung yang seperti menekan agar tidak dilakukan eksekusi, menurut saya ini
seperti tajam ke bawah tumpul ke atas, apakah karena adanya ‘orang besar’, sehingga memunculkan banyak permainan
di Kejagung hingga menimbulkan korban orang-orang kecil,” ungkapnya.
Menyikapi Sudin dan Yani, Jamwas Marwan Effendi memaparkan bahwa secara internal tidak dipungkiri masih banyak
oknum-oknum jaksa nakal. Namun pihaknya tidak menutup mata alias tetap melakukan penindakan pelanggaran disiplin
aparatur kejaksaan. “Selama 2011, memang terdapat sebanyak 3000 lebih pelanggaran internal dan telah diberikan
penindakan, dan yang masih tersisa dalam proses sebanyak 543 laporan pengaduan masyarakat atas pelanggaran
disiplin oknum-oknum kejaksaan se-Indonesia,” ungkapnya yang langsung mendapat apresiasi dari Komisi III atas
keseriusan penindakan oknum jaksa-jaksa ‘nakal’ tersebut.adi/web
Komentar