Menuju Indonesia Darussalam (1)

Di kolom polling yang sengaja saya sediakan di blogspot sederhana ini, ternyata responden yang menyetujui syariat Islam hingga hari ini adalah 65 persen, sementara hanya 35 persen yang tidak setuju.
Sepertinya hal itu membuat saya bersemangat saja untuk membuat tulisan tentang bagaimana strategi untuk mewujudkan diterapkannya syariat Islam dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara di negara Indonesia yang sama-sama kita cintai ini.
Selama ini, sangat banyak ide-ide, suara-suara, unjuk rasa atau bahkan dakwah yang isinya kurang lebih mengingatkan betapa pentingnya aturan hukum yang diturunkan Allah SWT ini diterapkan di negara yang 80 persen atau lebihnya adalah berpenduduk Muslim.
Mereka dan saya percaya bahwa hanya dengan syariat Islam-lah, kehidupan masyarakat, bangsa dan negara ini bisa diatur dan ditata menjadi lebih baik. Sebagian kecil bahkan meyakininya sebagai suatu keniscayaan. Namun, sebagian lagi yang masih samar-samar pengetahuannya, masih memerlukan argumentasi agar bisa diyakinkan. Tetapi, sangat banyak yang tak mempercayainya bahkan menolaknya mentah-mentah.
Mereka yang terakhir itu berkilah, hukum atau tata aturan yang ada sekarang sebenarnya sudah bagus, tinggal bagaimana pelaksananya saja lagi yang perlu diluruskan.
Tetapi, sadarkah kawan, justru biang dari segala kemunduran moral, akhlak, politik, ekonomi, dan bidang-bidang lainnya itu justru akibat ulah kita sendiri yang lebih mempercayakan hukum buatan kita sendiri untuk mengatur kehidupan kita.
Syahdan, buatan manusia tak ada yang sempurna. Hanya Allah sajalah yang Maha Sempurna. Dia-lah yang menciptakan kita manusia, dan tentunya hanya Dia sajalah yang mengetahui tata aturan yang paling cocok untuk manusia khususnya bagi hamba-Nya yang beriman dan bertakwa.
Buatan manusia tak ada yang abadi, ia akan mudah hanyut terbawa arus deras perubahan zaman. Namun, buatan Allah yang bernama Al Qur'an tentulah tak akan berubah sampai ahir zaman. Padahal, Al Qur'an itu petunjuk yang lurus bagi mereka yang meyakininya. Islam itu sempurna, namun karena ketidaksempurnaan akhlak manusia lalu aturan hukum yang ada dalam Al Qur'an kemudian dipilah-pilah, dipotong sebagian dan yang lebih parahnya ditepikan, dikalahkan oleh akal manusia yang merasa lebih pintar dibanding Sang Pencipta-nya.
Rahmatan lil alamin
Nabi Muhammad SAW yang diutus Allah SWT telah dijadikan-Nya sebagai rahmat bagi seru sekalian alam. Apa-apa yang diajarkan Nabi yang bersandar dari Al Qur'an juga, adalah pedoman berharga bagi manusia dan bagi orang beriman tentang bagaimana mengatur hubungan antara hamba dengan Allah dan bagaimana hubungan antar umat manusia.
Sebelum Islam datang, di jazirah Arab penuh dengan peperangan, perampokan, pemerkosaan, pembunuhan dan lain-lain kezaliman dan ketidakadilan sebagai manifestasi dari kebodohan manusia yang mengikut hawa nafsunya dan menyembah apa yang ia ciptakan sendiri.
Namun, setelah Islam datang bersama sang pembawa risalah Nabi Muhammad SAW pada abad ke-7 Masehi, kehidupan bangsa Arab mulai berubah menjadi umat yang terhormat bermartabat karena memegang teguh hukum-hukum Allah.
Bahkan, penduduk negeri-negeri di sekitar jazirah Arab yang wilayahnya dikuasai pahlawan-pahlawan Islam merasakan betapa indah dan damainya berada dalam naungan hukum Islam. Hukum ini penuh dengan kebenaran dan keadilan karena ia memang datang dari Yang Maha Benar dan Adil.
Penduduk Mesir, penduduk Syam dan lain-lain ternyata lebih berbahagia, aman dan sejahtera setelah berada dalam naungan kekuasaan dan hukum Islam. Hal itu berbeda jauh manakala negeri-negeri itu masih dijajah oleh penguasa-penguasa Romawi yang menciptakan dan menjalankan hukum demi hawa nafsunya, menyebarkan faham kebohongan dan memperkaya diri tanpa empati terhadap kaum tertindas.
Begitu pula ketika kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara yang berideologi dan berhukum Islam, kehidupan penduduknya aman, damai, makmur dan sejahtera. Tengok saja sejarah kerajaan di Nusantara pada abad 14-18 Masehi, Samudra Pasai, Banjar, Goa, Demak, Ternate, Tidore dan lain-lain yang begitu jaya.
Kejayaan kerajaan-kerajaan yang memegang teguh syariat Islam sebagai dasar dan landasannya, membuat negeri-negeri Barat yang memang sudah dengki dengan Islam, berniat untuk merusak hukum Allah dan bahkan menghisap kekayaannya.
Demikianlah, bangsa penjajah Belanda menjajah Nusantara dan berupaya menerapkan sistem hukumnya sendiri di negeri yang berpenduduk mayoritas Muslim itu.
Cukup lama infiltrasi hukum di Bumi Pertiwi, sampai-sampai sebagian besar penduduknya, termasuk kaum intelektual semakin lupa saja dengan syariat Islam yang pernah membesarkan nenek-moyangnya.
Bahkan, sebelum Proklamasi Kemerdekaan berkumandang 17 Agustus 1945, banyak tokoh yang tergabung dalam panitia persiapan kemerdekaan justru alergi terhadap sila pertama dasar negara yang akan berdiri, "Ketuhanan Yang Maha Esa dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam bagi Pemeluk-pemeluknya." Padahal, bunyi sila pertama ini tertuang sebelumnya dalam Piagam Jakarta, yakni sebuah piagam kesepakatan para tokoh saat itu.
Namun, bunyi sila pertama kemudian digugat oleh mereka yang tak mengerti tentang Islam. Mereka mengancam akan memisahkan diri dari pergerakan perjuangan nasional, jika bunyi sila pertama yang disebut Soekarno sebagai Pancasila itu tetap demikian.
Akhirnya, Soekarno dan tokoh lain yang ikut merancang dan menyepakati Piagam Jakarta apakah terpaksa atau tidak, menghapus tujuh kata dalam sila itu sehingga tertinggal kalimat "Ketuhanan Yang Maha Esa." Sementara sila kedua hingga kelima tak berubah hingga sekarang.
Padahal, dari situlah sebenarnya sejarah perjuangan kita menegakkan kebenaran dan keadilan
yang paripurna justru tak tercapai sampai detik ini.

Komentar