Truk Batu Bara Mestinya 'Minum' Solar Industri

BANJARMASIN - Kelangkaan solar dan mitan di daerah ini tak bisa dipungkiri terjadi seiring dengan berkembangpesatnya dunia pertambangan. Contoh kecil, ribuan angkutan batu bara yang sebagian sering berseliweran di jalan umum ternyata juga bergantung dengan solar bersubsidi di sejumlah Stasiun Pengisian Bahanbaka Umum (SPBU).
Padahal, keberadaan truk-truk tersebut jelas-jelas mengusung kepentingan usaha industri pertambangan. Namun, dengan dalih Peraturan Pemerintah (PP) No 9 Tahun 2006, truk-truk yang juga kerap mencelakai pengguna jalan lain itu, justru bisa 'minum' solar bersubsidi.
Akibatnya bisa dipastikan kalau solar bersubsidi yang seyogyianya bisa dinikmati warga umum, kaum nelayan dan angkutan non industri menjadi ikut susah karena kesulitan memperoleh solar yang semestinya menjadi haknya itu.
Senin (12/5), politisi di Komisi III Bidang Hukum DPR RI, Sahrin Hamid mengatakan, jika suatu kendaraan seperti truk dipakai untuk kepentingan industri pertambangan, termasuk mengangkut batu bara, maka truk tersebut sudah termasuk alat industri dan mesti memakai solar industri.
"Jika truk batu bara boleh juga mengkonsumsi solar bersubsidi, maka tidak mengherankan kalau solar menjadi langka, sehingga kendaraan umum menjadi kesulitan memperoleh solar," tukas politisi PAN ini.
Menurut pria yang baru berusia 33 tahun ini, tak semestinya pemerintah daerah setempat mendiamkan saja masalah tersebut. Kalau dibiarkan justru rawan memnculkan krisis energi, ekonomi bahkan konflik sosial.
"Saya boleh mengatakan kalau pemerintah setempat sudah kehilangan peran membela kepentingan masyarakat luas, yang mestinya lebih diprioritaskan. Jangan sampai masyarakat umum dikalahkan hanya demi kepentingan industri pertambangan," bebernya.
Sementara itu, Kapolda Kalsel Brigjen Halba Nugroho mengakui kalau pihaknya sempat menindak truk batu bara yang kedapatan mengisi solar bersubsidi. Belakangan dengan terbitnya surat edaran dari Pertamina bahwa truk-truk itu boleh mengambil sola di SPBU, maka polisi pun mundur teratur.
"Itu ada surat edaran dari Pertamina yang menyatakan truk batu bara boleh mengisi solar di SPBU. Kalau begini, polisi harus bagaimana. Coba tanyakan ke Pertamina. Tadinya, truk itu kita tindak. Namun, karena surat edaran itu, ya polisi berhenti melarang," ujarnya dengan nada tanya.
Meski demikian, lanjutnya, polisi masih berupaya keras menhentikan penyimpangan solar dengan memperketat pengawasan di tiap SPBU. "Anggota disebarkan di tiap SPBU untuk mengawasi sehingga tidak ada praktik penyimpangan. Jika ada penyimpangan, pelaku, baik itu pelangsir, operator, pengawas atau pemilik SPBU akan kita tindak dengan tegas," janjinya.
Penyimpangan sangat terbuka, karena solar industri harganya jauh lebih mahal, yakni Rp10.500/liter ketimbang sola bersubsidi yang hanya Rp4.300/liter.
Pihak Pertamina sendiri terkesan menggampangkan soal kelangkaan solar yang salah satu penyebabnya adalah truk-truk batu bara 'peminum' solar bersubsidi.
Humas Pertamina Kalsel, Bambang Irianto mengatakan, pihaknya tak bisa membatasi truk-truk batu bara mengisi solar di SPBU karena hal itu masih dibenarkan PP No 9 Tahun 2006. Truk dengan plat kuning dan hitam dianggap masih kendaraan umum. Meskipun truk itu mengangkut hasil industri pertambangan? "Edaran Pertamina sudah sesuai PP No 9 Tahun 2006 itu," kilahnya.
Disinggung pendapat Sahrin, Bambang mengatakan bahwa pendapat itu harus diakui terlebih dahulu secara bulat oleh lembaga negara. Kemudian, ketentuan bahwa truk batu bara tak boleh mengisi solar bersubdidi, dimuat dalam peraturan perundangan, sehingga Pertamina dan polisi bisa mengambil langkah. "Kalau ada dasar hukumnya, kita bisa mengambl tindakan," ungkapnya lagi.
Dari pengamatan, di tiap SPBU, berjam-jam sepanjang hari, antrian kendaraan justru dipenuhi oleh truk-truk pengangkut batu bara. Malah, kerap didapati truk besar jenis dumptruck juga ikut antri. Padahal, truk gede itu berlogo perusahaan industri tambang. adi

Komentar