Sampurno Gugat BPKP Kalselteng Rp20 Milyar

BANJARMASIN - Merasa dirinya menjadi korban akibat kekeliruan audit yang dilakukan dua pegawai Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Kalselteng, Sampurno melalui kuasa hukumnya menggugat secara perdata lembaga itu sebesar Rp20 milyar lebih.
"Kami sudah mendaftarkan gugatan perdata itu ke Pengadilan Negeri (PN) Banjarbaru pada 21 April 2008 lalu. Nomor register perkaranya adalah No Reg 05/PDT.G/2008/PN Bjb tertanggal 21 April 2008," ujar kuasa hukum Sampurno, Syarifuddin Simbolon SH kepada Mata Banua, Kamis (24/4).
Adapun pihak yang digugat adalah Hardono SE sebagai tergugat I dan M Iwan sebagai tergugat II. Keduanya merupakan PNS di BPKP Kalselteng Jl A Yani Km 31 Banjarbaru. Lembaga itu sendiri juga turut dijadikan tergugat.
Menurutnya, persoalan bermula selepas proyek pengembangan Bandara Syamsuddin Noor menjadi embarkasi haji sudah selesai dikerjakan oleh kontraktor PT Hutama Karya. Selanjutnya, bandara mulai beroperasi melayani pernerbangan jamaah haji, 30 Desember 2004.
Penggugat, lanjutnya, sejak diberi tugas sebagai pimpro oleh Gubernur Kalsel HM Sjachriel Darham sesuai surat tertanggal 18 September 2002 Nomor 553.2/696.a/LLAU-Dishub. Tugas itu kemudian berakhir Desember 2002.
Pada bulan September 2005, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) telah melakukan audit penggunaan dana APBD Kalsel untuk pembiayaan proyek bandara. "Dan menurut BPK, proyek tersebut tidak ditemukan adanya kekurangan fisik maupun kekurangan keuangan," tukasnya.
Simbolon mengaku tidak habis pikir, karena BPKP justru memaksakan diri melakukan audit pemeriksaan keuangan, meskipun dalam Keppres 103 Tahun 2001 pasal 52, BPKP adalah badan yang bertugas melaksanakan pengawasan, bukan pemeriksaan.
"Namun, tergugat II tetap menyuruh tergugat I melakukan audit investigasi terhadap pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan pada proyek tersebut. Dalam surat Kepala BPKP Kalselteng No ST-04610/PW.16/5/2006 tanggal 25 September 2006 dan No ST-4610/PW.16/5/2007 tanggal 8 Februari 2007, klien kami justru dianggap telah merugikan negara senilai Rp17.534.157.953,57," tuturnya.
Padahal, lanjutnya, menurut hukum dalam UU Nomor 15 Tahun 2004 pasal 1, "Badan pemeriksa adalah BPK." Selanjutnya, pasal 14 ayat (1) mengatakan, "Apabila dalam pemeriksaan ditemukan unsur pidana, BPK segera melaporkan hal tersebut kepada instansi yang berwenang..."
Pengacara asal Jakarta ini menambahkan, akibat kekeliruan BPKP tersebut, kliennya mengalami kerugian materi maupun immateri setelah dijadikan tersangka dan terdakwa.
Kerugian materi disebabkan penggugat kehilangan matapencaharian sebagai pengelola Riau Air di Bandara Syamsuddin Noor dengan penghasilan Rp15 juta tiap bulan, terhitung sejak Juni 2007 sampai Juni 2012 atau 60 bulan (masa produktif penggugat). Rp15 juta dikali 60, maka kerugian mencapai Rp900 juta. Kemudian kehilangan penghasilan sebagai tenaga ahli Bandara Stagen tahun 2007 sebesar Rp10 juta.
Di samping itu, penggugat dan keluarganya juga tercemar nama baiknya, akibat kasus yang muncul tersebut, sehingga penggugat menuntut kompensasi senilai Rp20 milyar kepada tergugat I dan II. adi

Komentar