Oleh: MS Shiddiq)*
*) Penggiat Literasi Digital dan Komunikasi Politik
DI tengah berbagai tantangan yang dihadapi masyarakat, pengadaan mobil dinas mewah untuk pimpinan DPRD Kabupaten Banjar menjadi ironi yang sulit diterima.
Hyundai Palisade, dengan harga lebih dari satu miliar rupiah per unit, kini menjadi simbol kontroversi yang mencerminkan jurang antara wakil rakyat dan rakyat yang diwakilinya.
Ketika masyarakat masih berjuang menghadapi dampak ekonomi pasca-pandemi, keputusan ini menjadi tamparan keras bagi prinsip-prinsip kepemimpinan yang seharusnya mengutamakan empati dan pelayanan.
*Meminggirkan Empati*
Dalam teori kepemimpinan transformasional, empati adalah elemen mendasar yang harus dimiliki oleh setiap pemimpin. Pemimpin yang berempati mampu memahami kondisi masyarakat dan mengambil keputusan yang berpihak pada kepentingan bersama.
Namun, pengadaan mobil mewah untuk DPRD Banjar menunjukkan adanya disconnect antara pejabat publik dan realitas rakyatnya. Bukannya memperlihatkan solidaritas dan kepedulian terhadap kondisi masyarakat, keputusan ini justru memperlihatkan kesenjangan yang semakin melebar.
Sebagai wakil rakyat, anggota DPRD seharusnya merepresentasikan aspirasi dan kebutuhan masyarakat yang mereka wakili.
Teori representasi politik menekankan bahwa tindakan seorang wakil rakyat harus mencerminkan kepentingan publik, bukan keinginan pribadi atau kelompok elit.
Namun, pengadaan mobil dinas yang mewah ini justru mengirimkan pesan yang keliru: bahwa kebutuhan para pejabat lebih diutamakan daripada kepentingan masyarakat banyak.
Kita tidak perlu jauh-jauh mencari contoh tentang pentingnya kesederhanaan dalam kepemimpinan. Paus Fransiskus, salah satu pemimpin spiritual dunia, kerap kali menunjukkan teladan dalam merendahkan hati.
Selama kunjungannya di Indonesia, ia memilih kendaraan yang sederhana, jauh dari kemewahan. Pesan moral yang ia sampaikan jelas: pemimpin adalah pelayan, bukan orang yang dilayani.
Di sisi lain, beberapa negara juga menunjukkan langkah nyata dalam mengutamakan empati terhadap rakyat.
Di Selandia Baru, Perdana Menteri Jacinda Ardern sering menggunakan transportasi umum untuk menghadiri acara, meski negara memiliki kapasitas untuk menyediakan fasilitas yang jauh lebih mewah.
Keputusan-keputusan ini menunjukkan bahwa kepemimpinan sejati tidak membutuhkan simbol kekayaan, melainkan keberanian untuk berdiri bersama rakyat dalam kesederhanaan.
*Prioritas yang Perlu Dibenahi*
Polemik pengadaan mobil dinas mewah ini seharusnya menjadi refleksi bagi pejabat publik di semua tingkat pemerintahan.
Dalam situasi seperti sekarang, ketika rakyat menghadapi berbagai kesulitan ekonomi, pengalihan anggaran untuk program-program yang langsung dirasakan manfaatnya oleh masyarakat akan jauh lebih bermakna.
Misalnya, anggaran mobil dinas mewah dapat digunakan untuk perbaikan infrastruktur jalan, program bedah rumah, atau bantuan pendidikan bagi anak-anak dari keluarga kurang mampu.
*Sikap yang Ditunggu*
Sebagai lembaga yang seharusnya menjadi panutan dalam penggunaan anggaran publik, DPRD Banjar memiliki tanggung jawab moral untuk meninjau kembali keputusan ini.
Pengembalian mobil mewah yang telah dibeli, sebagaimana disuarakan oleh beberapa pihak, termasuk Ketua DPC Gerindra Kabupaten Banjar, H Muhammad Rofiqi, adalah langkah yang tidak hanya simbolis tetapi juga substantif.
Ini bukan hanya soal penghematan anggaran, tetapi juga upaya untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap integritas wakil rakyat.
Kepemimpinan sejati tidak diukur dari kendaraan yang mengantar seorang pejabat, tetapi dari keputusan yang diambil untuk kepentingan rakyat banyak.
Semoga polemik ini menjadi pelajaran bagi kita semua tentang pentingnya empati dalam setiap kebijakan publik. Karena pada akhirnya, seorang pemimpin dinilai bukan dari apa yang ia miliki, tetapi dari apa yang ia berikan kepada mereka yang diwakilinya. _Wallahu A’lam_.
Komentar